بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
Terjemahan:
34. Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita, oleh Karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang saleh, ialah yang taat
kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh Karena
Allah telah memelihara (mereka)[290]. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya[291], maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur
mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar.
35. Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan
antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam[293] dari keluarga laki-laki dan
seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
[289] Maksudnya: tidak berlaku curang serta
memelihara rahasia dan harta suaminya.
[290] Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami
untuk mempergauli isterinya dengan baik.
[291]
Nusyuz: yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. Nusyuz dari pihak isteri
seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
[292] Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada
isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat,
bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila
tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang
tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama Telah ada manfaatnya janganlah
dijalankan cara yang lain dan seterusnya.
[293] hakam ialah juru pendamai.
Mufradat:
Dalam al-Qur’an, kata atau istilah
yang digunakan untuk menyebut laki-laki dan perempuan adalah
rajul(un) dan dzakar(un) dan mar’ah, nisa>’ serta unsta>. Istilah
tersebut memiliki pengertian yang berbeda-beda. Berikut adalah uraian mengenai
beberapa istilah tersebut:
Ar-Rija>l: Kata ini merupakan bentuk plural
(jama’) dari kata rajul (un). Secara etimologis, kata ini mengandung beberapa arti: mengikat,
berjalan kaki, telapak kaki, tumbuh-tumbuhan dan laki-laki. Kata ini biasanya
digunakan untuk menunjuk laki-laki yang sudah dewasa (sudah akil-baligh).
Dalam penggunaannya, kata ini tidak hanya mengacu pada jenis kelamin biologis,
tapi juga jenis laki-laki yang memenuhi kualifikasi budaya tertentu seperti
kejantanan dan kemandirian. Hal ini tampaknya terkait dengan salah satu kata
jadian darinya, seperti dalam uraian berikutnya. Oleh karena itu, perempuan
yang memiliki sifat-sifat kejantanan disebut dengan rajlah. Kata ar-rajul
tidak digunakan untuk spesies selain manusia.
Dalam al-Qur’an, kata ini disebut 55 kali dengan pengertian yang
berbeda-beda. Yakni 1) gender laki-laki (QS. al-Baqarah [2]: 282). Termasuk
dalam pengertian ini adalah QS. an-Nisa>’ [4]: 34 yang
biasanya digunakan untuk menolak kepemimpinan perempuan di ruang publik. 2)
orang, baik laki-laki maupun perempuan (QS. al-A’ra>f [7]: 46), 3) Nabi atau Rasul (QS. al-Anbiya>’ [21]: 7), 4) tokoh masyarakat (QS. Ya>si<n [36]: 20), 5) budak (QS. az-Zumar [39]: 29).
Menurut
al-Ishfaha>ni<,
kata ini digunakan secara khusus untuk manusia berjenis kelamin laki-laki.
Salah satu kata jadian dari kata tersebut adalah rajlah yang berarti
perempuan yang menyeruapi laki-laki dalam sebagian tingkah lakunya. Kata lain
yang serupa tapi dengan pengertian berbeda adalah ar-rijl(u) yang
berarti anggota badan yang khusus dimiliki oleh kebanyakan binatang mamalia.
Dari kata tersebut muncul derivasinya; rajill (un) dan ra>jil (un)
yang berarti kaki untuk berjalan (190).
Lawan kata dari ar-rajul adalah an-Nisa>’ yang berarti perempuan yang sudah matang atau dewasa. Oleh karena
itu, kata ini biasanya diterjemahkan dengan istri atau perempuan yang sudah
berkeluarga seperti perempuan yang sudah kawin (QS. an-Nisa’ [4]: 24),
perempuan janda Nabi (QS. an-Nisa>’: 22), perempuan mantan istri ayah (QS. an-Nisa>’: 22), perempuan yang ditalak (QS. al-Baqarah: 231-2) dan istri yang
di dzihar (QS. al-Muja>dilah [58]: 2+3). Dengan kata lain, sebagaimana imra’ah,
kata an-Nisa>’ tidak pernah digunakan untuk perempuan di bawah umur. Bahkan kedua kata ini lebih banyak digunakan dalam
kaitan tugas reproduksi. Dalam al-Qur’an, kata ini disebut sebanyak 59 kali
dalam pengertian sebagai berikut; 1) gender perempuan (QS. an-Nisa>’ [4]: 32) dan 2) istri (QS. al-Baqarah [2]: 222).
Nisa>’ adalah bentuk jama’ dari kata mar’ah yang berarti
perempuan. Kata Nisa>’
pada dasarnya berasal dari kata kerja nasa-yansu
yang berarti meninggalkan, yaitu meninggalkan masa kanak-kanak kemudian dewasa
dan menjadi ibu. Di samping kata nisa>’, al-Qur’an juga
menggunakan kata niswah yang juga berarti perempuan. Keduanya
menunjukkan jama’.
Dalam al-Qur’an kata nisa>’ disebut sebanyak
57 kali, tersebar dalam beberapa ayat dan surat,
sedangkan kata niswah disebut 2 kali, yaitu pada QS. Yu<suf [12]: 30 dan 50. Walaupun kedua kata nisa>’ dan niswah itu berasal dari akar kata yang sama, namun dalam
pengertian dan penggunaannya dalam al-Qur’an terdapat perbedaan. Perbedaan itu
adalah sebagai berikut: 1) dari segi pengertian, kata nisa>’ digunakan untuk menyatakan wanita di dalam jumlah yang lebih kecil,
sedangkan kata niswah digunakan untuk menyatakan wanita di dalam jumlah
yang lebih besar. Ath-Thabarsi, ketika menafsirkan kata niswah di dalam
QS. Yu<suf [12]: 30, menerangkan bahwa niswah adalah jama>’ah min
an-nisa>’ (sekelompok besar wanita), 2) kata nisa>’ digunakan di dalam konteks pembicaraan tentang perempuan secara
umum sedangkan kata niswah digunakan al-Qur’an dalam konteks pembicaraan
tentang perempuan-perempuan pada masa Nabi Yusuf as.
Dalam al-Qur’an, kata nisa>’ pada umumnya
diungkap dalam konteks pembicaraan tentang perkawinan, hubungan suami-istri,
perceraian/talak, pewarisan, dan soal aurat/kesopanan. Karena itu hanya
perempuan dewasa yang sudah berkewajiban menutup aurta.
Ad-Dzakar. Kata ini berarti mengisi atau
menuangkan, menyebutkan, mengingat, mempelajari, menyebutkan, laki-laki atau
jantan. Kata ini lebih berkonotasi biologis (seks) yang bisa digunakan untuk
selain manusia. Lawan katanya adalah al-untsa>. Dalam
al-Qur’an, kata ini disebutkan sebanyak 18 kali yang kebanyakan menunjuk
laki-laki dilihat dari faktor biologis. Hal ini seperti dalam QS. A<li ‘Imra>n [3]: 36. Memang ada ungkapan yang berhubungan dengan fungsi dan
relasi gender yang tidak menggunakan rajul dan imra’ah, tapi ad-dzakar
dan al-untsa> seperti ayat tentang waris (QS. an-Nisa>’ [4]: 11), namun ayat ini hendak menegaskan bahwa jenis kelamin apa pun,
berhak mendapatkan berbagai hak asasinya, termasuk soal warisan dan hak-hak
kebendaan lainnya. Apalagi, ayat ini turun sebagai koreksi atas tradisi
jahiliyyah yang tidak mengenal warisan untuk perempuan. Sebenarnya, subtansi
ayat tersebut terletak pada awal ayat: يوصيكم الله في أولادكم , di mana kata aula>d mengandung pengertian laki-laki dan perempuan, baik sedikit atau
banyak. Penyebutan ad-Dzakar dan al-untsa> hanya sebagai muqayyad. Untuk menguatkan argumen tersebut
bisa dibandingkan dengan QS. an-Nisa>’: 176. Ini sebagai petunjuk bahwa perbedaan jenis kelamin tidak
mesti melahirkan perbedaan gender. Kata untsa> berarti lembek (tidak keras), lemas
dan halus. Makna ini terkait dengan fisik wanita yang belum dewasa, yakni belum
kuat. Kata ini disebut sebanyak 30 kali dan semuanya menunjuk pada jenis
kelamin perempuan.
Al-Mar’u. Kata ini berasal dari mara’a
yang berarti baik atau bermanfaat. Dari kata ini lahir kata al-Mar’u
yang berarti laki-laki dan al-Mar’ah yang berarti perempuan. Dalam
al-Qur’an, kata al-mar’u terulang sebanyak 11 kali yang digunakan untuk
pengertian manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana kata ar-rajul
dan an-nisa>’, kata ini juga menunjuk pada pengertian manusia dewasa, sudah
memiliki kecakapan bertindak atau yang sudah berumah tangga, seperti dalam QS.
‘Abasa [80]: 34-5 dan at-Thu<r [52]: 21.
Dari uraian di atas jelas bahwa kata ar-rajul tidak identik
dengan ad-dzakar. Semua kategori ar-rajul, termasuk kategori ad-dzakar
dan tidak sebaliknya. Demikian juga kata al-mar’u atau imra’ah
dan an-nisa>’ tidak identik dengan al-untsa>. Seorang
laki-laki disebut ar-rajul atau
perempuan disebut an-nisa>’, manakala memenuhi kriteria sosial dan budaya tertentu seperti
berumur dewasa, telah berumah tangga atau telah mempunyai peran tertentu di
dalam masyarakat.
Qawwa>mu<n. Kata
ini merupakan bentuk jamak dari kata qawwa>m.
Sedangkan kata qawwa>m
adalah bentuk muba>laghah
(superlatif) dari kata qa>’im.
Secara bahasa, qawwa>m
mengandung makna dasar antara lain: tegak, lurus, betul, dan adil. Makna itu
kemudian berkembang menjadi memimpin seperti terdapat QS. an-Nisa>’: 34.
Hal itu boleh jadi karena sikap benar, lurus, atau adil itu erat sekali
kaitannya dengan tugas kepemimpinan dari seorang pemimpin, mulai dari
kepemimpinan dalam rumah tangga sampai kepada kepemimpinan bangsa dan negara.
Kemudian, sifat benar, lurus dan adil itu tidak hanya dimiliki di dalam diri
seorang pemimpin, tetapi juga harus ditegakkannya sehingga keadilan dan
supremasi hukum benar-benar terwujud di dalam masyarakat.
Menurut
ar-Ra>zi, kata qawwa>m
mengandung makna melaksanakan suatu pekerjaan dengan sungguh-sungguh. Sementara
itu, menurut al-Qurthu<bi,
qawwa>m adalah
kesiapan melaksanakan sesuatu dengan penuh perhatian dan kesungguhan.
Dalam
al-Qur’an, kata qawwa>mu<na
hanya disebut satu kali, yaitu dalam QS. an-Nisa>’: 34.
Menurut Rasyid Ridla, kata qawwa>mu<n
tersebut mengandung makna, antara lain: al-h{ima>yah
(penjagaan), ar-ri’a>yah
(pengayoman), al-kifa>yah
(pencukupan), dan al-wila>yah
(kepemimpinan).
Selain
kata qawwa>mu<n
terdapat kata qawwa>mi<n
yang disebut dua kali dalam al-Qur’an, yaitu pada QS. an-Nisa>’: 135
dan al-Ma’idah [6]:
8. Kedua ayat tersebut, menurut al-Qurthu>bi
berkaitan dengan penegakan kesaksian dan bersikap adil di dalamnya, meskipun
persaksian itu menyangkut diri-sendiri. Pendapat senada dikemukakan oleh at-Thabari<
(Ensiklopedia al-Qur’an, 3: 770)
Faddlala:
kata ini berasal dari kata fadl yang dalam berbagai
bentuknya, disebut 104 kali dalam al-Qur’an. Makna asal kata tersebut adalah az-ziya>dah wal-khair
(kelebihan dan kebaikan) yang kemudian berkembang menjadi 1) baqiya
(sisa/akhir), 2) za>d/ziya>dah
(lebih, lawan dari kurang), dan 3) ghalaba (menang/unggul/utama). Dalam
bahasa Indonesia, kata ini sering diterjemahkan dengan karunia, kemurahan,
kebaikan, keutamaan, kemuliaan, dan keunggulan.
Al-Ishfaha>ni<
mengemukakan bahwa al-fadl berarti lebih atau kelebihan yang mencakup
kebaikan dan keburukan. Adapun Thabathaba’i menyatakan bahwa yang dimaksud
dengan fadl (makna konotatifnya) adalah suatu pemberian yang bersifat
sukarela yang merupakan kelebihan dari kebutuhan. Menurutnya, kata tersebut
digunakan untuk menyatakan kelebihan, keunggulan, kebaikan, kemurahan, dan
keutamaan di dalam hal yang positif. Sedangkan untuk hal-hal yang negatif
digunakan kata al-fudlu<l.
Karena itu tidak ditemukan kata al-fadlu
untuk makna negatif, demikian juga kata al-fudlu<l untuk
kelebihan yang positif. Sementara itu Ibnu
Mandzu<r menyebutkan al-Fadli<lah
sebagai kedudukan yang tinggi di dalam hal-hal yang utama. Akan tetapi, kata
yang terakhir ini tidak ditemukan dalam al-Qur’an.
Kata
fadl yang digunakan untuk menyatakan kelebihan yang dimiliki oleh sesuatu atas
sesuatu yang lain, termasuk dalam relasi laki-laki dan perempuan, umumnya
menyangkut tiga segi. Pertama, dari segi jenis, seperti hewan memiliki
kelebihan dibanding dengan tumbuh-tumbuhan. Kedua, dari segi nau’ (spesies),
yaitu suatu pembagian di bawah level jenis (genus, jins) seperti manusia
mempunyai kelebihan , di dalam hal-hal tertentu, dibanding dengan binatang,
sekalipun keduanya sama-sama jenis hewan. Kata al-fadl yang mengandung arti
semacam ini dapat dilihat dalam QS.al-Isra’ [17]: 70. Ketiga, dari segi dzat
(esensi), seperti Ahmad memiliki kelebihan, di dalam satu segi, dibanding
Mahmud. Pengertian ini seperti terdapat dalam QS. an-Nahl [16]: 71.
Kelebihan
atau keunggulan yang termasuk kategori pertama dan kedua merupakan anugerah
dari Allah, tanpa didahului usaha dari yang menyandang kelebihan atau
keunggulan dimaksud. Sedangkan keunggulan yang ketiga kadang-kadang merupakan
anugerah semata-mata dari Allah dan kadang-kadang juga merupakan hasil dari
usaha yang bersangkutan.
Dalam
rangkaian ayat al-Qur’an, penggunaan kata al-fadl muncul dalam dua bentuk.
Pertama, dalam bentuk perbandingan di antara sesuatu dengan sesuatu yang lain,
seperti dalam QS. an-Nisa’: 34. Kedua, tanpa perbandingan, seperti dalam QS.
Ali Imran: 73. Dalam bentuk pertama, kata fadl dirangkaikan dengan kata depan
‘ala yang umumnya diterjemahkan dengan ‘atas’. Adapun dalam bentuk kedua, tanpa
didahului kata depan ‘ala.
Pada
umumnya, bentuk pertama di atas mengandung keterkaitan di antara Allah dengan
makhluk atau di antara sesama makhluk itu sendiri sehingga kadang-kadang kata
tersebut diterjemahkan dengan ‘karunia’ dan kadang-kadang juga diterjemahkan
dengan ‘kelebihan’ atau ‘keunggulan’. Sedangkan dalam bentuk kedua, umumnya
hanya diterjemahkan dengan ‘karunia’ dan ‘anugerah’.
Dalam
al-Qur’an, kata fadl digunakan bukan saja untuk hal-hal yang bersifat
ke-akhiratan, tapi juga keduniaan. Banyak ditemukan kata fadl yang dirangkaikan
dengan kata Allah. Kata fadl yang dikaitkan dengan kata Allah lebih tepat
diartikan dengan ‘pemberian sesuatu yang tidak dibutuhkan oleh si pemberi’.
Jadi fadlullah berarti pemberian atau karunia Allah yang betul-betul tidak
dibutuhkan oleh-Nya (Ensiklopedia al-Qur’an, 1: 200-202).
Munasabah Ayat:
Menurut Thabathaba’i,
rangkaian ayat ini, yaitu mulai ayat 32-35 memiliki hubungan dengan beberapa
ayat sebelumnya yang menjelaskan hukum waris. Hukum nikah merupakan sesuatu
yang memperkuat hukum sebelumnya tersebut. Dari sana kemudian dapat diambil natijah mengenai
sebagian hukum yang bersifat menyeluruh yang berkaitan dengan kemaslahatan
dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan (4: 343).
Sedangkan
menurut Quraish Shihab, ayat sebelumnya (32) melarang berangan-anagn dan iri
menyangkut keistimewaan masing-masing manusia, baik pribadi maupun kelompok
atau jenis kelamin. Menurutnya, keistimewaan yang diberikan Allah itu antara
ain karena masing-masing mempunyai fungsi yang harus diembannya dalam
masyarakat, sesuai dengan potensi dan kecenderungannya. Karena itu pula ayat 32
mengingatkan bahwa Allah telah menetapkan bagian masing-masing menyangkut harta
warisan, di mana terlihat adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Maka
pada ayat ini (34) fungsi dan kewajiban masing-masing jenis kelamin itu serta
latarbelakang perbedaan itu diuraikan (2: 402)
Kandungan Ayat:
A.
Pandangan Mufassir Modern
Pandangan
Muhammad Husein Thabathaba’i mengenai tafsir ayat dalam tafsirnya, al-Mi<za>n
fi< Tafsi<r al-Qur’a>n:
Thabathaba’i menafsirkan ayat tersebut
dengan memulainya menjelaskan makna qawwamun. Menurutnya, kata tersebut berasal
dari kata al-qayim yang berarti seseorang yang melakukan sesuatu bagi orang
lain. Qawam dan qiyam yang membentuk kata qawwam, memiliki makna lebih dari
sekedar makna tersebut.
Menurut Thabathaba’i, yang dimaksud
dengan bima faddlaallah ba’dluhum ‘ala ba’dlin adalah kelebihan dan tambahan yang dimiliki
oleh laki-laki dari sisi alamiahnya dibanding perempuan, seperti kelebihan
kekuatan akal dan kekuatan fisik untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan. Hal ini
berbeda dengan perempuan. Menurutnya, kehidupan perempuan adalah kehidupan yang
bersifat fisik yang lunak yang dibangun berdasarkan kelembutan dan kasih
sayang. Sedangkan yang dimaksud dengan wabima anfaqu min amwalihim adalah
nafkah yang diberikan laki-laki, berupa mahar (mas kawin dan beberapa nafkah
lainnya).
Jadi, menurut Thabathaba’i, kelebihan
laki-laki atas wanita adalah karena laki-laki lebih kuat secara fisik dan telah
memberi mahar kepada perempuan. Dua alasan inilah yang menurutnya menjadi dasar
keunggulan laki-laki atas wanita. Lebih jauh Thabathaba’i menjelaskan bahwa
laki-laki dalam ayat tersebut tidak terbatas pada kelebihan suami atas
istrinya, tapi laki-laki secara umum di berbagai ruang dan wilayah, seperti
pada wilayah pemerintahan, kehakiman, perang atau wilayah sosal lainnya.
Beberapa wilayah tersebut, laki-laki lebih unggul dibanding wanita, menurutnya,
karena pada wilayah tersebut dibutuhkan kekuatan akal.
Meskipun demikian, menurut Thabathaba’i,
bukan berarti keunggulan laki-laki atas perempuan tersebut dapat membatasi
kemandirian atau kebebasan perempuan. Menurutnya, perempuan memiliki kebebasan
individual dalam melakukan sesuatu yang dicintai dan dikehendakinya dan
laki-laki tidak berhak menghalang-halangi keinginan dan kehendak tersebut,
selagi hal-hal yang dicintai dan dilakukan itu bukan sesuatu yang munkar.
Demikian juga dengan kepemimpinan suami atas istrinya. Suami tidak dapat membatasi istrinya untuk melakukan
sesuatu sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya. Istri juga tidak boleh
dikekang kebebasannya dalam memenuhi dan menjaga hak-hak individual dan
sosialnya. Ini berarti, menurut Thabathaba’i, suami boleh menuntut hak untuk
ditaati oleh isrinya, baik ketika di rumah atau sedang berada di luar rumah,
sepanjang ia memberi nafkah kepadanya (4: 352).
**********
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya
bahwa ar-rijalu qawwamuna ‘alan nisa’ adalah bersifat umum. Namun ungkapan
fasshalihatu qanitatu, menurut Thabathaba’i bersifat khusus, yaitu relasi
antara suami dan istri. Dengan demikian, maksud potongan ayat tersebut adalah
bahwa yang dimaksud dengan istri salihah adalah istri yang taat kepada Allah
dan suaminya serta dapat menjaga diri, ketika suaminya tidak di rumah.
Bandingan dari istri yang salihah
adalah istri yang melakukan nusyuz, yaitu istri yang menentang dan membangkang
terhadap suaminya, ketika kewajiban suami kepadanya (memberi nafkah) sudah
ditunaikan. Untuk mengatasi problem tersebut al-Qur’an memberi tiga opsi jalan
keluar, yaitu 1) fa’idzuhunna (memberi nasihat), 2) wahjuruhunna, seperti
mengurangi bercengkrama, mendiamkan (tidak mengajak bicara) dan lain-lain dan
3) wadlribuhunna (memukul). Menurut Thabathaba’i tiga opsi tersebut bersifat
berurutan tergantung pada situasi konflik antara keduanya.
Kalau istri sudah taat kembali, maka
suami dilarang mencari-cari kesalahan istri untuk menyakitinya. Sebab bila hal
itu dilakukan, maka suami telah berbuat dzalim pada istrinya, apalagi kalau hal
itu dilakukan karena ia merasa lebih tinggi dari istrinya atau karena sombong.
Bila antara keduanya tidak mendapatkan
titik temu untuk kembali hidup sebagai suami istri, maka keterlibatan pihak
ketiga dari pihak suami dan istri sebagai suatu keniscayaan, dengan harapan
keduanya dapat menjadi penengah, sehingga kalau bercerai, tidak ada permusuhan
antara keduanya (4: 352-353).
**************
Berdasarkan pengamatannya pada
beberapa hadis yang diriwayatkan baik oleh Sunni maupun Syi’ah, Thabataba’i
menyimpulkan bahwa:1) kehidupan perempuan yang baik menurut Islam adalah mengurus persoalan rumah tangga dan
mendidik anak-anaknya, 2) Islam melaranga perempuan melakukan hal-hal yang
berbau jihad seperti dalam kehakiman dan kekuasaan pemerintahan, 3) meskipun
perempuan dilarang berjihad, namun Islam memberi pekerjaan lain yang sebanding
dengan jihad, seperti berbuat baik kepada suaminya (4: 359-360)
Pandangan
Sayyid Qutub mengenai tafsir ayat dalam tafsirnya, Fi< Dzila>l
al-Qur’a>n:
Sebelum menjelaskan tafsir ayat
tersebut, Qutub menjelaskan pandangan Islam mengenai organisasi keluarga,
manhaj membangun dan memelihara keluarga dan tujuannya. Berdasarkan QS.
adz-Dzariyat: 49, Allah menciptakan manusia dan di antara fitrahnya adalah
berpasangan. Allah menjadikan pasangan pada manusia itu sebagai dua belahan
bagi satu jiwa. Hal ini sebagaimana ditegaskan QS. an-Nisa’: 1. Allah hendak
mempertemukan kedua belahan jiwa tersebut sesuai dengan apa yang
dikehendaki-Nya, supaya pertemuan itu meneteramkan jiwa tersebut, meneteramkan
saraf dan ruhnya serta melegakan jasadnya. Setelah itu kemudian menutupnya,
melindungi dan menjaganya sebagai ladang untuk menyemaikan keturunan dan
mengembangkan kehidupan, sebagaimana ditegaskan pada QS. ar-Rum: 21 dan
al-Baqarah: 187, 223, at-Tahrim: 6 dan at-Tur: 21.
Menurut Qutub, dengan menyamakan
kedudukan kedua belahan jiwa itu di hadapan Allah, maka ini sebagai petunjuk
adanya penghormatan kepada perempuan. Laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki
hak untuk mendapatkan pahala di sisi Allah, hak untuk memiliki dan mewarisi,
dan kebebasan pribadi untuk bersikap. Bagi Qutub, Islam begitu sangat memuliakan perempuan,
memberinya kebebasan pribadi dan menghormatinya, memberinya hak-hak padanya,
bukan karena pilih kasih terhadap dirinya, melainkan untuk mewujudkan tujuan
terbesar Islam yaitu menghormati manusia secara keseluruhan dan mengangkat
kehidupan manusia.
Lebih lanjut Qutub mengemukakan
bahwa di antara tanggungjawab yang diemban organisasi keluarga adalah 1)
untuk mendapatkan ketenangan dan perlindungan kedua belah pihak, 2)
mengembangkan masyarakat manusia dengan unsur-unsur yang dapat mengembangkan
dan meningkatkannya.
Meskipun berpandangan seperti tersebut
di atas, Sayyid Qutub mengemukakan kepemimpinan dalam organisasi keluarga
berada di tangan laki-laki. Alasan kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga
adalah karena Allah melebihkan laki-laki dengan tanggungjawab kepemimpinan
beserta kekhususan-kekhususan dan ketrampilan yang dibutuhkannya serta menugasi
laki-laki untuk memberi nafkah kepada seluruh anggota organisasi keluarga.
Menurut Qutub, manhaj rabbani mengenai
keluarga adalah bahwa suami dan istri diberi tugas secara seimbang sesuai
dengan kodrat masing-masing dan sesuai dengan fitrahnya yang berbeda-beda.
Salah satu tugas wanita ialah mengandung, melahirkan, menyusui dan mengasuh
buah hubungannya dengan suami. Menurut Qutub, tugas merupakan tugas besar dan
penting, tidak ringan dan tidak mudah, yang harus ditunaikan oleh perempuan dengan
persiapan fisik, kejiwaan, dan pikiran yang mendalam. Oleh karena itu, lanjut
Qutub, adil rasanya kalau suami dibebani tugas untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan pokoknya dan memberikan perlindungan kepada istri supaya
dapat mencurahkan tenaga dan perhatiannya kepada tugasnya yang penting itu.
Karena itu, lanjut Qutub adil pula kalau suami diberi keistimewaan dalam bentuk
dan susunan fisik, saraf, pikiran, dan jiwanya yang dapat membantunya
menunaikan tugas-tugasnya. Wanita juga diberi bentuk dan susunan tubuh, saraf,
pikiran, dan kejiwaan yang dapat membantunya menunaikan tugas-tugasnya.
Karena tugas-tugasnya tersebut,
menurut Qutub, perempuan dibekali kekhususan berupa kelembutan, kasih sayang,
perasaan yang sensitif, dan tanggapan yang amat cepat terhadap tuntutan
kebutuhan anak, tanpa berpikir dan mempertimbangkan terlebih dahulu. Laki-laki
juga dibekali dengan kekhususan berupa kekuatan dan keperkasaan, perasaannya
tidak terlalu sensitif dan reaktif, dan selalu menggunakan pertimbangan dan
pikiran sebelum bertindak dan memberikan reaksi. Sifat-sifat khusus inilah,
kata Qutub yang menjadikan laki-laki lebih dapat melaksanakan kepemimpinan dan
lebih layak menggeluti pekerjaannya. Dengan demikian jelas bahwa kepemimpinan
laki-laki atas wanita disebabkan oleh penciptaan dan kodratnya dan itulah yang
adil.
Diutamakannya laki-laki pada posisi
tersebut, karena menurut Qutub, organisasi kelaurga tidak akan berjalan tanpa
kepemimpinan laki-laki. Pada sisi lain, perempuan tidak disiapkan untuk tugas
tersebut. Malahan, menurut Qutub, adalah zalim bila memikulkan tugas
kepemimpinan kepada perempuan. Menurut Qutub, kalau perempuan diberi pelatihan
untuk mengemban tugas kepemimpinan, maka pelatihan kepemimpinannya dibatasi
hanya untuk tugas keibuan.
Dalam pandangan Qutub, kepemimpinan
laki-laki atas perempuan adalah harga mati. Karena itu, menurutnya, kehidupan
manusia akan mengalami kejatuhan dan kerusakan, keruntuhan dan terancam
kehancuran dan kebinasaan, apabila kaidah di atas dilanggar. Menurut pengamatan
Qutub, keluarga yang dipimpin oleh ayah atau laki-laki, akan melahirkan
anak-anak yang baik, tidak gampang menyeleweng baik dalam perilaki dan
akhlaknya.
Meskipun demikian, masih menurut
Qutub, kepemimpinan laki-laki atas perempuan, tidak dengan sendirinya dapat
menghilangkan hak-hak keperdataan perempuan tersebut dan hak-haknya untuk
bertindak hukum, memilih teman hidupnya dan bertindak atas nama dirinya dan
terhadap hartanya.
***********************
Ketika
Terjadi Nusyuz, Bagaimana Pemecahannya?
Setelah menjelaskan kewajiban, hak,
tanggungjawab, dan tugas laki-laki, rangkaian ayat berikutnya menjelaskan
tentang tabiat perempuan yang beriman, salehah, dan perilaku dan tindakan
imaninya dalam samudra rumah tangga. Di antara tabiat wanita salehah adalah
selalu menjaga kehormatan hubungannya yang suci antara dia dan suaminya ketika
suami sedang tidak berada, lebih-lebih ketika suami ada di rumah. Maka, ia
tidak memperkenankan dirinya untuk dipandang, yakni menghinakan harga diri dan
kehormatan dirinya, yang memang tidak diperbolehkan, karena ia merupakan
belahan dari sebuah jiwa. Aturan ini, bukanlah ketetapan istri atau suami,
tetapi yang menetapkan adalah Allah.
Lawan dari wanita salehah adalah
wanita yang rela melakukan nusyuz. Menurut Qutub, nusyuz adalah orang yang
menonjolkan dan meninggikan (menyombongkan diri dengan melakukan pelanggaran
dan kedurhakaan. Menurut Qutub, al-Qur’an telah memberi pelajaran bahwa ketika
nusyuz ini masih dalam tahap permulaan atau sebelum menjadi berat dan sulit,
maka segera harus dipecahkan. Tindakan preventif ini diambil untuk memperbaiki
kejiwaan dan tatanan kehidupan berumah tangga, bukan untuk menambah rusaknya
hati dan mengisinya dengan kebencian dan dendam, atau mengisinya dengan
penghinaan dan keretakan yang menyakitkan.
Tindakan pertama yang dilakukan ketika
terjadi nusyuz adalah memberi nasehat. Tindakan yang harus dilakukan pemimpin
dan kepala rumah tangga pada tahap ini adalah melakukan tindakan pendidikan,
mengobati faktor-faktor yang membuat nusyuz dan lainnya.
Tindakan kedua dilakukan, apabila
tindakan pertama tidak berhasil dan pada saat yang sama perempuan masih
didominasi oleh hawa nafsunya, memperturutkan perasaan, merasa lebih tinggi
atau menyombongkan kecantikannya, kekayaannya, status sosial keluarganya atau
kelebihan lainnya. Tindakan kedua berupa membiarkan diri ia tidur sendiri.
Menurut Qutub, tempat tidur atau ranjang merupakan tempat untuk melepaskan
rangsangan dan daya tarik, yang di sini, istri yang melakukan nusyuz dan
menyombongkan diri merasa berada di puncak kekuasaannya. Apabila suami dapat
menahan keinginannya terhadap rangsangan ini, maka gugurlah senjata utama
perempuan yang nusyuz yang dibangga-banggakannya itu. Dengan pemisahan tempat
tidur, diharapkan istri surut dan melunak di depan suami yang tegar.
Berpisah tempat tidur atau tidur
sendiri-sendiri, tidak dilakukan secara terang-terangan di luar tempat yang
biasa suami-istri berduaan dan tidak di depan anak-anak, karena akan berdampak
negatif kepada keluarga besar. Pemisahan juga tidak dengan pindah ke orang
lain, dengan menghinakan istri atau menjelek-jelekkan kehormatan dan harga
dirinya, karena hal itu akan menambah pertentangan. Dengan demikian, menurut
Qutub, pemisahan ini bertujuan untuk mengobati nusyuz, bukan untuk merendahkan
istri dan merusak anak-anak.
Akan tetapi kalau langkah kedua tidak
membuahkan hasil, agar keluarga tidak hancur berantakan, maka masih ada
tindakan yang harus dilakukan untuk memecahkannya, walaupun lebih keras, tetapi
lebih ringan dan lebih kecil dampaknya dibandingkan dengan kehancuran keluarga.
Langkah ketiga adalah memukul. Pemukulan yang dilakukan, menurut Qutub, bukan
untuk menyakiti, menyiksa dan memuaskan diri. Tidak juga untuk menghinakan atau
merendahkan. Pemukulan tidak boleh dilakukan dengan keras dan kasar. Qutub
mengutip hadis, janganlah seseorang di antara kamu memukul istrinya bagaikan
unta, yaitu dia memukulnya pada pagi hari, tetapi kemudian pada malam harinya
mencampurinya.
Semua tindakan tersebut tidak boleh dilakukan kalau kedua belah
pihak berada dalam kondisi harmonis. Tindakan itu boleh dilakukan untuk
menghadapi ancaman kerusakan dan keretakan. Sebab Nabi bersabda, sebaik-baik
kamu adalah orang yang paling baik terhadap istrinya (keluarganya) dan aku
adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku di antara kalian.
Mendatangkan
Juru Damai
Pemecahan dengan tindakan
tersebut dilakukan apabila nusyuz belum
gawat atau masih dapat ditanggulangi. Apabila sudah gawat maka manhaj Islam
yang bijaksana mengisyaratkan tindakan terakhir untuk menyelamatkan organisasi
besar dari kehancuran, yaitu mendatangkan juru damai.
Menurut Qutub, manhaj Islam tidak
menyerah begitu saja ketika terjadi nusyuz dan ketidaksukaan salah satu pihak.
Tidak juga segera memutuskan tali pernikahan dan tidak merobohkan organisasi
rumah tangga dengan melemparkan puing-puing ke kepala para anggotanya, baik
yang besar maupun yang kecil, yang tidak berdosa dan tidak bersalah, yang tidak
memiliki kekuatan dan daya upaya.
Cara terakhir ini harus segera
dilakukan apabila ada kekhawatiran akan terjadinya persengketaan. Juru damai
ini mencoba melakukan islah. Maksudnya, bila cerai yang diambil, maka keduanya
tidak ada luka lagi (4: 233-248).
Pandangan
M. Quraish Shihab mengenai tafsir ayat dalam tafsirnya, Al-Mishba>h{
Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an:
Quraish menjelaskan bahwa yang
dimaksud rijal dalam ayat tersebut adalah laki-laki secara umum, bukan suami.
Sebab, kata Thahir ibn ‘Asyur, kata rijal tidak digunakan oleh bahasa Arab,
bahkan bahasa al-Qur’an, dalam artyi suami. Berbeda dengan kata an-Nisa’ atau
imra’ah yang digunakan untuk makna istri. Karena itu, menurutnya, penggalan
ayat di atas berbicara secara umum tentang pria dan wanita dan berfungsi
sebagai pendahuluan bagi penggalan kedua ayat, yaitu tentang sikap dan sifat
isteri yang salehah.
Kata Qawwamun merupakan bentuk jamak
dari kata qawwam yang terambil dari kata qama. Perintah shalat, misalnya
menggunakan kata tersebut. Perintah tersebut bukan berarti perintah mendirikan
shalat, tetapi melaksanakannya dengan sempurna, memenuhi segala syarat, rukun
dan sunnah-sunnahnya. Seseorang yang melaksanakan tugas dan atau apa yang
diharapkan darinya dinamai qa’im. Kalau ia melaksanakan tugas itu sesempurna
mungkin, berkesinambungan dan berulang-ulang, maka ia dinamai qawwam.
Seringkali, kata Quraish, kata tersebut diterjemahkan dengan pemimpin, tetapi,
katanya, seperti terbaca dari maknanya, terjemahan itu belum menggambarkan
seluruh makna yang dikehendaki, walau harus diakui bahwa kepemimpinan merupakan
satu aspek yang dikandungnya. Dengan kata lain dalam pengertian kepemimpinan
tercakup pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan, dan
pembinaan.
Menurut Quraish, kepemimpinan untuk
setiap unit merupakan sesuatu yang mutlak, termasuk dalam setiap keluarga. Hal
ini karena perselisihan dan persesuaian dapat muncul seketika, namun juga dapat
segera hilang. Persoalannya siapakah yang harus memimpin? Allah menetapkan
laki-laki sebagai pemimpin dengan dua pertimbangan pokok, yaitu:
Pertama, karena Allah
melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain, yakni masing-masing
memiliki keistimewaan. Tetapi, kata Quraish, keistimewaan yang dimiliki
laki-laki lebih menunjang tugas kepemimpinan daripada keistimewaan yang
dimiliki perempuan. Di sisi lain, menurut Quraish, keistimewaan yang dimiliki
perempuan lebih menunjang tugasnya sebagai pemberi rasa damai dan tenang kepada
lelaki serta lebih mendukung fungsinya dalam mendidik dan membesarkan anak.
Untuk mendukung pandangannya tersebut
Quraish beragumen dengan sebuah analog bahwa mengapa pisau diciptakan lancip
atau tajam? Mengapa bibir gelar tebal dan halus? Mengapa tidak sebaliknya?
Jawabnya adalah karena ‘bentuk disesuaikan dengan fungsi’ dan bukan sebaliknya
‘ fungsi menciptakan bentuk’. Kalau pisau diciptakan lancip karena ia berfungsi
untuk memotong, sedang gelas untuk di minum. Kalau bentuk gelas sama dengan
pisau, maka ia akan berbahaya dan gagal dalam fungsinya. Sebaliknya kalau pisau
dibentuk seperti gelas, maka sia-sialah kehadirannya dan gagal pula dalam fungsinya.
Di samping dengan argumen di atas,
Quraish juga mengemukakan beberapa argumen yang mendukung pandangannya dengan
mengutip beberapa pendapat ahli, seperti Murtadha Muthahhari yang menyatakan
bahwa:
“Lelaki
secara umum lebih besar dan tinggi dari perempuan, suara lelaki dan telapak
tangannya besar, berbeda dengan telapak dan suara perempuan, pertumbuhan
perempuan lebih cepat dari laki-laki, namun perempuan lebih mampu membentengi
diri dari penyakit dibanding lelaki…Rata-rata bentuk kepala laki-laki lebih
besar dari perempuan…”
Perbedaan lain secara psikis antara
laki-laki dan perempuan menurutnya antara lain, lelaki lebih cenderung pada
olahraga, berburu dan pekerjaan yang melibatkan gerakan dibanding wanita.
Lelaki cenderung kepada tantangan dan perkelahian sedangkan perempuan cenderung
kepada kedamaian dan keramahan. Lelaki lebih agresif dan suka ribut, sementara
wanita lebih tenang dan tenteram. Perempuan menghindari kekerasan terhadap
dirinya atau orang lain, karena itu, jumlah perempuan yang bunuh diri lebih
sedikit dari jumlah pria. Caranya pun berbeda, biasanya lelaki menggunakan cara
yang lebih keras, seperti pistol, tali gantungan atau meloncat dari ketinggian,
sementara perempuan menggunakan obat tidur, racun dan semacamnya. Perasaan wanita
lebih cepat bangkit dari lelaki, sehingga sentimen dan rasa takutnya segera
muncul, berbeda dengan lelaki yang biasanya lebih berkepala dingin dan
perbedaan-perbedaan lainnya.
Meskipun secara panjang lebar
menguraikan perbedaan tersebut dan perbedaan di atas, menurut Quraish, sejalan
dengan petunjuk ayat, namun katanya, sudah sewajarnya untuk tidak menilai
perasaan
Kedua, disebabkan karena mereka
telah menafkahkan sebagian harta mereka. Menurut Quraish, bentuk kata lampau
yang digunakan ayat, menunjukkan bahwa memberi nafkah kepada wanita telah
menjadi kelaziman bagi lelaki serta kenyataan umum dalam masyarakat umat
manusia sejak dahulu hingga kini. Penyebutan konsideran itu oleh ayat
menunjukkan bahwa kebiasaan lama itu masih berlaku hingga kini. Wanita, menurut
Quraih, secara psikologis enggan diketahui membelanjai suami bahkan kekasihnya.
Di sisi lain, pria malu jika ada yang mengetahui bahwa kebutuhan hidupnya
ditanggung oleh isterinya. Karena itu, menurutnya, agama Islam yang tuntunannya
sesuai dengan fitrah manusia mewajibkan suami untuk menanggung biaya hidup
isteri dan anak-anaknya. Kewajiban itu diterima dan menjadi kebanggaan suami,
sekaligus menjadi kebanggan isteri yang dipenuhi kebutuhan dan permintaannya
oleh suami sebagai tanda cinta kepadanya.
Masih menurut Quraish, dalam konteks
kepemimpina keluarga, alasan kedua cukup logis. Bukankah, katanya, di balik
setiap kewajiban ada hak? Bukankah yang membayar memperoleh fasilitas? Tetapi
hakikatnya, ketetapan ini bukan hanya atas pertimbangan materi saja.
Dari kedua faktor di atas,
keistimewaan fisik dan psikis, serta kewajiban memenuhi kebutuhan isteri dan
anak-anaknya, lahir hak-hak suami yang harus pula dipenuhi oleh isteri. Suami
wajib ditaati oleh isterinya dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan ajaran
agama serta tidak bertentangan dengan hak pribadi sang isteri.
Meskipun lelaki pemimpin, namun perlu
digarisbawahi, kata Quraish bahwa kepemimpinan tersebut tidak boleh
mengantarnya kepada kesewenang-wenangan. Bukankah musyawarah merupakan anjuran
al-Qur’an dalam menyelesaikan setiap persoalan, termasuk persoalan yang
dihadapi keluarga? (2: 402-408).
B.
Pandangan Mufassir Klasik
Pandangan
Jalaluddin as-Sayuthi dan Jalaluddin al-Mahally mengenai tafsir ayat dalam
tafsirnya, al-Jala>lin:
Ar-Rija>lu qawwa>mu<na, yaitu laki-laki menguasai (musalithu<n) perempuan dengan mendidik dan membuat perempuan berada di bawah
kekuasaannya. Hal ini karena laki-laki memiliki kelebihan dibanding perempuan
berupa kelebihan ilmu, akal, walayah (kekuasaan), dan lain-lain dan karena
laki-laki, dengan hartanya, memberi nafkah kepada perempuan. Di antara
perempuan yang salihah, adalah mereka yang taat kepada suaminya dan dapat
menjaga kemaluan dan lainnya, ketika suaminya tidak di rumah.
Seandainya istri melakukan pelanggaran
yang jelas, maka suami diperintahkan untuk menasehatinya agar takut kepada
Allah, berpisah tempat tidur, seandainya lebih jelas lagi nusyuznya dan
memukulnya dengan pukulan yang tidak melukai (ghaira mubarrih{in). Apabila istri sudah taat kepada suaminya dengan menjalankan apa
yang dituntut oleh suaminya, maka suami di larang mencari-cari alasan untuk
memukul istrinya.
Bila keluarga kedua belah pihak
mengetahui konflik antara suami-istri, maka keluarga, atas kerelaan keduanya
mengutus laki-laki yang adil dari kerabat suami dan laki-laki yang adil dari
pihak istri, masing-masing sebagai wakil para pihak untuk mendamaikan keduanya
atau bercerai (2: 40-43).
Pandangan
Syaikh Ahmad as-Sha>wi<
al-Ma>liky< mengenai tafsir ayat dalam
tafsirnya, Ha>syiyah as-Sha>wi<
‘ala> Tafsi<r al-Jala>lain:
Ar-Rija>lu qawwa>mu<na. Latarbelakang turunnya ayat ini adalah bahwa istri Sa’d ibn Rabi’,
salah satu tokoh kaum anshar yang bernama Habibah binti Zaid telah nusyuz,
kemudian menamparnya. Atas peristiwa tersebut, ayah dari Habibah mengadu kepada
Nabi dan menjelaskan kepadanya bahwa suami Habibah telah menampar Habibah. Nabi
kemudian menegaskan, agar suami Habibah di qishas. Setelah mendapat jawaban
tersebut keduanya pergi meninggalkan Nabi, sambil Nabi berpesan agar segera pulang,
karena Jibril datang kepadanya dan membaca ayat tersbut. Nabi kemudian
bersabda: Kami menghendaki sesuatu, tapi Allah juga menghendaki sesuatu yang
lain dan tidak ada yang dikehendaki Allah kecuali baik. Latarbelakang ini,
menurut as-Shawi sebagai sisipan yang bertujuan untuk menjelaskan keunggulan
laki-laki atas perempuan.
Menurut as-Shawi, keunggulan itu
karena dua hal, anugerah dan usaha. Perlu diketahui, kata as-Shawi bahwa
sebagian laki-laki lebih utama daripada perempuan. Hal ini tidak menafikan
bahwa ada juga sebagian individu-individu perempuan yang lebih utama dari
individu-individu laki-laki seperti Maryam binti ‘Imran, Fatimah az-Zahra’,
Khadijah dan ‘Aisyah.
Menurut as-Shawi ada beberapa
keunggulan laki-laki dibanding wanita, di antaranya tambah akal dan agamanya,
kekuasaan dan persaksian, jihad, Jum’at, jama’ah, para nabi semuanya laki-laki,
laki-laki dapat poligami sampai empat ketika di dunia dan dapat memperistri
perempuan lebih banyak ketika di surga, dan talak serta talak raj’i ada pada
laki-laki.
Menurut as-Shawi, kalau istri
membangkang perintah suaminya, yaitu perintah yang bukan ma’siat kepada Allah,
maka suami wajib memberi ma’idzah kepada istrinya, kemudian bila tetap
membangkang, langkah keduanya adalah berpisah ranjang, sampai langkah ketiga
yaitu memukul yang tidak melukai yaitu sampai pecah tulangnya atau membuat
tidak berfungsi anggota badannya. Dua langkah yang terakhir, menurut Shawi,
baru dilakukan ketika istri nyata-nyata melakukan nusyuz (2: 40-43).
Pandangan
Sulaiman ibn Umar al-Ujaily as-Sya>fi’i yang
dikenal dengan nama Jamal< mengenai tafsir ayat dalam tafsirnya, al-Futu<h{a>tul
Ila>hiyyah bi Taudli<h{i Tafsi<r al-Jala>lain lid Daqa>’iqil
khafiyyah:
Ar-Rijalu qawwamuna merupakan sisipan
yang menjelaskan sebab lebih berhaknya laki-laki untuk mendapat bagian lebih
dari perempuan dalam warisan dan hak-hak lainnya yang umum. Kelebihan bagian
itu disebabkan dua hal, satu bersifat anugerah dan dua bersifat kasby atau
diusahakan. Setelah penjelasan tersebut Jamal menjelaskan latarbelakang
turunnya ayat tersebut. Latarbelakang yang disebutkan sama seperti yang
dijelaskan oleh as-Shawi.
Kata qawwamuna, menurut Jamal merupakan bentuk jamak dari kata qawwam,
yang berarti yang menegakkan kemaslahatan dan pengasuhan, dan pendidikan. Laki-laki
membeckup perempuan dan sungguh-sungguh dalam menjaganya.
Bima> faddlalalla>h berhubungan dengan qawwamuna. Ba’-nya adalah ba’ sababiyah dan
mim-nya adalah mim mashdariyah. Maksud dari ungkapan tersebut adalah bahwa
Allah telah melebihkan laki-laki atas wanita dalam beberapa hal, di antaranya
tambah akal-nya, agama, perwalian, jihad, Jum’at, jama’ah, dan imamah.
Nabi-nabi, khalifah dan para imam, semuanya laki-laki. Laki-laki boleh menikahi
empat perempuan sementara perempuan hanya boleh dengan satu laki-laki.
Laki-laki mendapat bagian lebih dalam warisan dan dalam genggamannya kekuasaan
untuk talak, nikah dan raj’i. Kepada lak-laki juga, nasab anak manusia
dinisbahkan. Semua itu, menurit Jamal, sebagai petunjuk bahwa laki-laki lebih
unggul daripada perempuan.
Wabima anfaqu, sebagaimana bima faddlalallah, berhubungan dengan
qawwamuna yang berarti dikarenakan laki-laki memberi nafkah maka ia harus
ditaati. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi dari Abu Hurairah: seandainya
diperintahkan seseorang boleh sujud kepada yang lainnya, maka saya perintahkan
istri untuk sujud kepada suaminya. Menurut Jamal, suami diperintah untuk
mendidik istrinya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi dari Abu Hurairah (juga): berwasiatlah
yang baik kepada perempuan, karena perempuan itu tercipta dari tulang rusuk.
Apabila tulang rusuk itu bengkok, maka luruskanlah, sebab apabila tidak, maka
ia akan mematahkan laki-laki. Tetapi kalau dibiarkan, maka bengkok. Maka berwasiatlah yang baik kepada
perempuan.
Nusyuz, menurut Jamal adalah cenderung pada kejahatan. Nusyuznya
istri adalah ketika ia benci kepada suaminya dan sombong kepadanya. Bila
jelas-jelas terjadi nusyuz, maka seorang suami menasehati istrinya, kemudian
pisah ranjang dan terakhir memukulnya, bila tindakan ini dianggap berfaidah.
Tindakan pemukulan yang dilakukan suami tidak boleh sampai melukai, seperti
sampai tulangnya patah atau membuat disfungsinya anggota tubuh. Tiga tindakan
itu dilakukan suami bila sudah sangat jelas, tidak berdasarkan prasangka. Tiga
tindakan tersebut dilakukan dengan berurutan (1: 378-379).
Wallahua’lam bissowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar