Kamis, 12 Februari 2015

TAFSIR QS. AN-NISA’ [4]: 34-35


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ









TAFSIR QS. AN-NISA’ [4]: 34-35

Terjemahan:
34.  Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah telah memelihara (mereka)[290]. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
35.  Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam[293] dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

[289]  Maksudnya: tidak berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.
[290]  Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.
[291] Nusyuz: yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. Nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
[292]  Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama Telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.
[293]  hakam ialah juru pendamai.


Mufradat:
          Dalam al-Qur’an, kata atau istilah yang digunakan untuk menyebut laki-laki dan perempuan adalah rajul(un) dan dzakar(un) dan mar’ah, nisa>’ serta unsta>. Istilah tersebut memiliki pengertian yang berbeda-beda. Berikut adalah uraian mengenai beberapa istilah tersebut:
Ar-Rija>l: Kata ini merupakan bentuk plural (jama’) dari kata rajul (un). Secara etimologis, kata ini mengandung beberapa arti: mengikat, berjalan kaki, telapak kaki, tumbuh-tumbuhan dan laki-laki. Kata ini biasanya digunakan untuk menunjuk laki-laki yang sudah dewasa (sudah akil-baligh). Dalam penggunaannya, kata ini tidak hanya mengacu pada jenis kelamin biologis, tapi juga jenis laki-laki yang memenuhi kualifikasi budaya tertentu seperti kejantanan dan kemandirian. Hal ini tampaknya terkait dengan salah satu kata jadian darinya, seperti dalam uraian berikutnya. Oleh karena itu, perempuan yang memiliki sifat-sifat kejantanan disebut dengan rajlah. Kata ar-rajul tidak digunakan untuk spesies selain manusia.
Dalam al-Qur’an, kata ini disebut 55 kali dengan pengertian yang berbeda-beda. Yakni 1) gender laki-laki (QS. al-Baqarah [2]: 282). Termasuk dalam pengertian ini adalah QS. an-Nisa>’ [4]: 34 yang biasanya digunakan untuk menolak kepemimpinan perempuan di ruang publik. 2) orang, baik laki-laki maupun perempuan (QS. al-A’ra>f [7]: 46), 3) Nabi atau Rasul (QS. al-Anbiya>’ [21]: 7), 4) tokoh masyarakat (QS. Ya>si<n [36]: 20), 5) budak (QS. az-Zumar [39]: 29).
Menurut al-Ishfaha>ni<, kata ini digunakan secara khusus untuk manusia berjenis kelamin laki-laki. Salah satu kata jadian dari kata tersebut adalah rajlah yang berarti perempuan yang menyeruapi laki-laki dalam sebagian tingkah lakunya. Kata lain yang serupa tapi dengan pengertian berbeda adalah ar-rijl(u) yang berarti anggota badan yang khusus dimiliki oleh kebanyakan binatang mamalia. Dari kata tersebut muncul derivasinya; rajill (un) dan ra>jil (un) yang berarti kaki untuk berjalan (190).
Lawan kata dari ar-rajul adalah an-Nisa>’ yang berarti perempuan yang sudah matang atau dewasa. Oleh karena itu, kata ini biasanya diterjemahkan dengan istri atau perempuan yang sudah berkeluarga seperti perempuan yang sudah kawin (QS. an-Nisa’ [4]: 24), perempuan janda Nabi (QS. an-Nisa>’: 22), perempuan mantan istri ayah (QS. an-Nisa>’: 22), perempuan yang ditalak (QS. al-Baqarah: 231-2) dan istri yang di dzihar (QS. al-Muja>dilah [58]: 2+3). Dengan kata lain, sebagaimana imra’ah, kata an-Nisa>’ tidak pernah digunakan untuk perempuan di bawah umur. Bahkan  kedua kata ini lebih banyak digunakan dalam kaitan tugas reproduksi. Dalam al-Qur’an, kata ini disebut sebanyak 59 kali dalam pengertian sebagai berikut; 1) gender perempuan (QS. an-Nisa>’ [4]: 32) dan 2) istri (QS. al-Baqarah [2]: 222).
Nisa>’ adalah bentuk jama’ dari kata mar’ah yang berarti perempuan. Kata Nisa>’ pada dasarnya berasal dari kata kerja nasa-yansu yang berarti meninggalkan, yaitu meninggalkan masa kanak-kanak kemudian dewasa dan menjadi ibu. Di samping kata nisa>’, al-Qur’an juga menggunakan kata niswah yang juga berarti perempuan. Keduanya menunjukkan jama’.
Dalam al-Qur’an kata nisa>’ disebut sebanyak 57 kali, tersebar dalam beberapa ayat dan surat, sedangkan kata niswah disebut 2 kali, yaitu pada QS. Yu<suf [12]: 30 dan 50. Walaupun kedua kata nisa>’ dan niswah itu berasal dari akar kata yang sama, namun dalam pengertian dan penggunaannya dalam al-Qur’an terdapat perbedaan. Perbedaan itu adalah sebagai berikut: 1) dari segi pengertian, kata nisa>’ digunakan untuk menyatakan wanita di dalam jumlah yang lebih kecil, sedangkan kata niswah digunakan untuk menyatakan wanita di dalam jumlah yang lebih besar. Ath-Thabarsi, ketika menafsirkan kata niswah di dalam QS. Yu<suf [12]: 30, menerangkan bahwa niswah adalah jama>’ah min an-nisa>’ (sekelompok besar wanita), 2) kata nisa>’ digunakan di dalam konteks pembicaraan tentang perempuan secara umum sedangkan kata niswah digunakan al-Qur’an dalam konteks pembicaraan tentang perempuan-perempuan pada masa Nabi Yusuf as.
Dalam al-Qur’an, kata nisa>’ pada umumnya diungkap dalam konteks pembicaraan tentang perkawinan, hubungan suami-istri, perceraian/talak, pewarisan, dan soal aurat/kesopanan. Karena itu hanya perempuan dewasa yang sudah berkewajiban menutup aurta.
Ad-Dzakar. Kata ini berarti mengisi atau menuangkan, menyebutkan, mengingat, mempelajari, menyebutkan, laki-laki atau jantan. Kata ini lebih berkonotasi biologis (seks) yang bisa digunakan untuk selain manusia. Lawan katanya adalah al-untsa>. Dalam al-Qur’an, kata ini disebutkan sebanyak 18 kali yang kebanyakan menunjuk laki-laki dilihat dari faktor biologis. Hal ini seperti dalam QS. A<li ‘Imra>n [3]: 36. Memang ada ungkapan yang berhubungan dengan fungsi dan relasi gender yang tidak menggunakan rajul dan imra’ah, tapi ad-dzakar dan al-untsa> seperti ayat tentang waris (QS. an-Nisa>’ [4]: 11), namun ayat ini hendak menegaskan bahwa jenis kelamin apa pun, berhak mendapatkan berbagai hak asasinya, termasuk soal warisan dan hak-hak kebendaan lainnya. Apalagi, ayat ini turun sebagai koreksi atas tradisi jahiliyyah yang tidak mengenal warisan untuk perempuan. Sebenarnya, subtansi ayat tersebut terletak pada awal ayat: يوصيكم الله في أولادكم  , di mana kata aula>d mengandung pengertian laki-laki dan perempuan, baik sedikit atau banyak. Penyebutan ad-Dzakar dan al-untsa> hanya sebagai muqayyad. Untuk menguatkan argumen tersebut bisa dibandingkan dengan QS. an-Nisa>’: 176. Ini sebagai petunjuk bahwa perbedaan jenis kelamin tidak mesti melahirkan perbedaan gender. Kata untsa> berarti lembek (tidak keras), lemas dan halus. Makna ini terkait dengan fisik wanita yang belum dewasa, yakni belum kuat. Kata ini disebut sebanyak 30 kali dan semuanya menunjuk pada jenis kelamin perempuan.
Al-Mar’u. Kata ini berasal dari mara’a yang berarti baik atau bermanfaat. Dari kata ini lahir kata al-Mar’u yang berarti laki-laki dan al-Mar’ah yang berarti perempuan. Dalam al-Qur’an, kata al-mar’u terulang sebanyak 11 kali yang digunakan untuk pengertian manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana kata ar-rajul dan an-nisa>’, kata ini juga menunjuk pada pengertian manusia dewasa, sudah memiliki kecakapan bertindak atau yang sudah berumah tangga, seperti dalam QS. ‘Abasa [80]: 34-5 dan at-Thu<r [52]: 21.
Dari uraian di atas jelas bahwa kata ar-rajul tidak identik dengan ad-dzakar. Semua kategori ar-rajul, termasuk kategori ad-dzakar dan tidak sebaliknya. Demikian juga kata al-mar’u atau imra’ah dan an-nisa>’ tidak identik dengan al-untsa>. Seorang laki-laki  disebut ar-rajul atau perempuan disebut an-nisa>’, manakala memenuhi kriteria sosial dan budaya tertentu seperti berumur dewasa, telah berumah tangga atau telah mempunyai peran tertentu di dalam masyarakat.
Qawwa>mu<n. Kata ini merupakan bentuk jamak dari kata qawwa>m. Sedangkan kata qawwa>m adalah bentuk muba>laghah (superlatif) dari kata qa>’im. Secara bahasa, qawwa>m mengandung makna dasar antara lain: tegak, lurus, betul, dan adil. Makna itu kemudian berkembang menjadi memimpin seperti terdapat QS. an-Nisa>’: 34. Hal itu boleh jadi karena sikap benar, lurus, atau adil itu erat sekali kaitannya dengan tugas kepemimpinan dari seorang pemimpin, mulai dari kepemimpinan dalam rumah tangga sampai kepada kepemimpinan bangsa dan negara. Kemudian, sifat benar, lurus dan adil itu tidak hanya dimiliki di dalam diri seorang pemimpin, tetapi juga harus ditegakkannya sehingga keadilan dan supremasi hukum benar-benar terwujud di dalam masyarakat.
Menurut ar-Ra>zi, kata qawwa>m mengandung makna melaksanakan suatu pekerjaan dengan sungguh-sungguh. Sementara itu, menurut al-Qurthu<bi, qawwa>m adalah kesiapan melaksanakan sesuatu dengan penuh perhatian dan kesungguhan.
Dalam al-Qur’an, kata qawwa>mu<na hanya disebut satu kali, yaitu dalam QS. an-Nisa>’: 34. Menurut Rasyid Ridla, kata qawwa>mu<n tersebut mengandung makna, antara lain: al-h{ima>yah (penjagaan), ar-ri’a>yah (pengayoman), al-kifa>yah (pencukupan), dan al-wila>yah (kepemimpinan).
Selain kata qawwa>mu<n terdapat kata qawwa>mi<n yang disebut dua kali dalam al-Qur’an, yaitu pada QS. an-Nisa>’: 135 dan al-Ma’idah [6]: 8. Kedua ayat tersebut, menurut al-Qurthu>bi berkaitan dengan penegakan kesaksian dan bersikap adil di dalamnya, meskipun persaksian itu menyangkut diri-sendiri. Pendapat senada dikemukakan oleh at-Thabari< (Ensiklopedia al-Qur’an, 3: 770)
Faddlala: kata ini berasal dari kata fadl yang dalam berbagai bentuknya, disebut 104 kali dalam al-Qur’an. Makna asal kata tersebut adalah az-ziya>dah wal-khair (kelebihan dan kebaikan) yang kemudian berkembang menjadi 1) baqiya (sisa/akhir), 2) za>d/ziya>dah (lebih, lawan dari kurang), dan 3) ghalaba (menang/unggul/utama). Dalam bahasa Indonesia, kata ini sering diterjemahkan dengan karunia, kemurahan, kebaikan, keutamaan, kemuliaan, dan keunggulan.
Al-Ishfaha>ni< mengemukakan bahwa al-fadl berarti lebih atau kelebihan yang mencakup kebaikan dan keburukan. Adapun Thabathaba’i menyatakan bahwa yang dimaksud dengan fadl (makna konotatifnya) adalah suatu pemberian yang bersifat sukarela yang merupakan kelebihan dari kebutuhan. Menurutnya, kata tersebut digunakan untuk menyatakan kelebihan, keunggulan, kebaikan, kemurahan, dan keutamaan di dalam hal yang positif. Sedangkan untuk hal-hal yang negatif digunakan kata al-fudlu<l. Karena itu tidak ditemukan kata al-fadlu untuk makna negatif, demikian juga kata al-fudlu<l untuk kelebihan yang positif. Sementara itu Ibnu Mandzu<r menyebutkan al-Fadli<lah sebagai kedudukan yang tinggi di dalam hal-hal yang utama. Akan tetapi, kata yang terakhir ini tidak ditemukan dalam al-Qur’an.
Kata fadl yang digunakan untuk menyatakan kelebihan yang dimiliki oleh sesuatu atas sesuatu yang lain, termasuk dalam relasi laki-laki dan perempuan, umumnya menyangkut tiga segi. Pertama, dari segi jenis, seperti hewan memiliki kelebihan dibanding dengan tumbuh-tumbuhan. Kedua, dari segi nau’ (spesies), yaitu suatu pembagian di bawah level jenis (genus, jins) seperti manusia mempunyai kelebihan , di dalam hal-hal tertentu, dibanding dengan binatang, sekalipun keduanya sama-sama jenis hewan. Kata al-fadl yang mengandung arti semacam ini dapat dilihat dalam QS.al-Isra’ [17]: 70. Ketiga, dari segi dzat (esensi), seperti Ahmad memiliki kelebihan, di dalam satu segi, dibanding Mahmud. Pengertian ini seperti terdapat dalam QS. an-Nahl [16]: 71.
Kelebihan atau keunggulan yang termasuk kategori pertama dan kedua merupakan anugerah dari Allah, tanpa didahului usaha dari yang menyandang kelebihan atau keunggulan dimaksud. Sedangkan keunggulan yang ketiga kadang-kadang merupakan anugerah semata-mata dari Allah dan kadang-kadang juga merupakan hasil dari usaha yang bersangkutan.
Dalam rangkaian ayat al-Qur’an, penggunaan kata al-fadl muncul dalam dua bentuk. Pertama, dalam bentuk perbandingan di antara sesuatu dengan sesuatu yang lain, seperti dalam QS. an-Nisa’: 34. Kedua, tanpa perbandingan, seperti dalam QS. Ali Imran: 73. Dalam bentuk pertama, kata fadl dirangkaikan dengan kata depan ‘ala yang umumnya diterjemahkan dengan ‘atas’. Adapun dalam bentuk kedua, tanpa didahului kata depan ‘ala.
Pada umumnya, bentuk pertama di atas mengandung keterkaitan di antara Allah dengan makhluk atau di antara sesama makhluk itu sendiri sehingga kadang-kadang kata tersebut diterjemahkan dengan ‘karunia’ dan kadang-kadang juga diterjemahkan dengan ‘kelebihan’ atau ‘keunggulan’. Sedangkan dalam bentuk kedua, umumnya hanya diterjemahkan dengan ‘karunia’ dan ‘anugerah’.
Dalam al-Qur’an, kata fadl digunakan bukan saja untuk hal-hal yang bersifat ke-akhiratan, tapi juga keduniaan. Banyak ditemukan kata fadl yang dirangkaikan dengan kata Allah. Kata fadl yang dikaitkan dengan kata Allah lebih tepat diartikan dengan ‘pemberian sesuatu yang tidak dibutuhkan oleh si pemberi’. Jadi fadlullah berarti pemberian atau karunia Allah yang betul-betul tidak dibutuhkan oleh-Nya (Ensiklopedia al-Qur’an, 1: 200-202).

Munasabah Ayat:
Menurut Thabathaba’i, rangkaian ayat ini, yaitu mulai ayat 32-35 memiliki hubungan dengan beberapa ayat sebelumnya yang menjelaskan hukum waris. Hukum nikah merupakan sesuatu yang memperkuat hukum sebelumnya tersebut. Dari sana kemudian dapat diambil natijah mengenai sebagian hukum yang bersifat menyeluruh yang berkaitan dengan kemaslahatan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan (4: 343).  
          Sedangkan menurut Quraish Shihab, ayat sebelumnya (32) melarang berangan-anagn dan iri menyangkut keistimewaan masing-masing manusia, baik pribadi maupun kelompok atau jenis kelamin. Menurutnya, keistimewaan yang diberikan Allah itu antara ain karena masing-masing mempunyai fungsi yang harus diembannya dalam masyarakat, sesuai dengan potensi dan kecenderungannya. Karena itu pula ayat 32 mengingatkan bahwa Allah telah menetapkan bagian masing-masing menyangkut harta warisan, di mana terlihat adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Maka pada ayat ini (34) fungsi dan kewajiban masing-masing jenis kelamin itu serta latarbelakang perbedaan itu diuraikan (2: 402)

Kandungan Ayat:

A. Pandangan Mufassir Modern

Pandangan Muhammad Husein Thabathaba’i mengenai tafsir ayat dalam tafsirnya, al-Mi<za>n fi< Tafsi<r al-Qur’a>n:

          Thabathaba’i menafsirkan ayat tersebut dengan memulainya menjelaskan makna qawwamun. Menurutnya, kata tersebut berasal dari kata al-qayim yang berarti seseorang yang melakukan sesuatu bagi orang lain. Qawam dan qiyam yang membentuk kata qawwam, memiliki makna lebih dari sekedar makna tersebut. 
          Menurut Thabathaba’i, yang dimaksud dengan bima faddlaallah ba’dluhum ‘ala ba’dlin  adalah kelebihan dan tambahan yang dimiliki oleh laki-laki dari sisi alamiahnya dibanding perempuan, seperti kelebihan kekuatan akal dan kekuatan fisik untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan. Hal ini berbeda dengan perempuan. Menurutnya, kehidupan perempuan adalah kehidupan yang bersifat fisik yang lunak yang dibangun berdasarkan kelembutan dan kasih sayang. Sedangkan yang dimaksud dengan wabima anfaqu min amwalihim adalah nafkah yang diberikan laki-laki, berupa mahar (mas kawin dan beberapa nafkah lainnya).
          Jadi, menurut Thabathaba’i, kelebihan laki-laki atas wanita adalah karena laki-laki lebih kuat secara fisik dan telah memberi mahar kepada perempuan. Dua alasan inilah yang menurutnya menjadi dasar keunggulan laki-laki atas wanita. Lebih jauh Thabathaba’i menjelaskan bahwa laki-laki dalam ayat tersebut tidak terbatas pada kelebihan suami atas istrinya, tapi laki-laki secara umum di berbagai ruang dan wilayah, seperti pada wilayah pemerintahan, kehakiman, perang atau wilayah sosal lainnya. Beberapa wilayah tersebut, laki-laki lebih unggul dibanding wanita, menurutnya, karena pada wilayah tersebut dibutuhkan kekuatan akal.
          Meskipun demikian, menurut Thabathaba’i, bukan berarti keunggulan laki-laki atas perempuan tersebut dapat membatasi kemandirian atau kebebasan perempuan. Menurutnya, perempuan memiliki kebebasan individual dalam melakukan sesuatu yang dicintai dan dikehendakinya dan laki-laki tidak berhak menghalang-halangi keinginan dan kehendak tersebut, selagi hal-hal yang dicintai dan dilakukan itu bukan sesuatu yang munkar. Demikian juga dengan kepemimpinan suami atas istrinya. Suami tidak  dapat membatasi istrinya untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya. Istri juga tidak boleh dikekang kebebasannya dalam memenuhi dan menjaga hak-hak individual dan sosialnya. Ini berarti, menurut Thabathaba’i, suami boleh menuntut hak untuk ditaati oleh isrinya, baik ketika di rumah atau sedang berada di luar rumah, sepanjang ia memberi nafkah kepadanya (4: 352).

**********
          Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa ar-rijalu qawwamuna ‘alan nisa’ adalah bersifat umum. Namun ungkapan fasshalihatu qanitatu, menurut Thabathaba’i bersifat khusus, yaitu relasi antara suami dan istri. Dengan demikian, maksud potongan ayat tersebut adalah bahwa yang dimaksud dengan istri salihah adalah istri yang taat kepada Allah dan suaminya serta dapat menjaga diri, ketika suaminya tidak di rumah.
          Bandingan dari istri yang salihah adalah istri yang melakukan nusyuz, yaitu istri yang menentang dan membangkang terhadap suaminya, ketika kewajiban suami kepadanya (memberi nafkah) sudah ditunaikan. Untuk mengatasi problem tersebut al-Qur’an memberi tiga opsi jalan keluar, yaitu 1) fa’idzuhunna (memberi nasihat), 2) wahjuruhunna, seperti mengurangi bercengkrama, mendiamkan (tidak mengajak bicara) dan lain-lain dan 3) wadlribuhunna (memukul). Menurut Thabathaba’i tiga opsi tersebut bersifat berurutan tergantung pada situasi konflik antara keduanya.
          Kalau istri sudah taat kembali, maka suami dilarang mencari-cari kesalahan istri untuk menyakitinya. Sebab bila hal itu dilakukan, maka suami telah berbuat dzalim pada istrinya, apalagi kalau hal itu dilakukan karena ia merasa lebih tinggi dari istrinya atau karena sombong.
          Bila antara keduanya tidak mendapatkan titik temu untuk kembali hidup sebagai suami istri, maka keterlibatan pihak ketiga dari pihak suami dan istri sebagai suatu keniscayaan, dengan harapan keduanya dapat menjadi penengah, sehingga kalau bercerai, tidak ada permusuhan antara keduanya (4: 352-353).

**************
          Berdasarkan pengamatannya pada beberapa hadis yang diriwayatkan baik oleh Sunni maupun Syi’ah, Thabataba’i menyimpulkan bahwa:1) kehidupan perempuan yang baik menurut Islam adalah          mengurus persoalan rumah tangga dan mendidik anak-anaknya, 2) Islam melaranga perempuan melakukan hal-hal yang berbau jihad seperti dalam kehakiman dan kekuasaan pemerintahan, 3) meskipun perempuan dilarang berjihad, namun Islam memberi pekerjaan lain yang sebanding dengan jihad, seperti berbuat baik kepada suaminya (4: 359-360)

Pandangan Sayyid Qutub mengenai tafsir ayat dalam tafsirnya, Fi< Dzila>l al-Qur’a>n:

          Sebelum menjelaskan tafsir ayat tersebut, Qutub menjelaskan pandangan Islam mengenai organisasi keluarga, manhaj membangun dan memelihara keluarga dan tujuannya. Berdasarkan QS. adz-Dzariyat: 49, Allah menciptakan manusia dan di antara fitrahnya adalah berpasangan. Allah menjadikan pasangan pada manusia itu sebagai dua belahan bagi satu jiwa. Hal ini sebagaimana ditegaskan QS. an-Nisa’: 1. Allah hendak mempertemukan kedua belahan jiwa tersebut sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya, supaya pertemuan itu meneteramkan jiwa tersebut, meneteramkan saraf dan ruhnya serta melegakan jasadnya. Setelah itu kemudian menutupnya, melindungi dan menjaganya sebagai ladang untuk menyemaikan keturunan dan mengembangkan kehidupan, sebagaimana ditegaskan pada QS. ar-Rum: 21 dan al-Baqarah: 187, 223, at-Tahrim: 6 dan at-Tur: 21.
          Menurut Qutub, dengan menyamakan kedudukan kedua belahan jiwa itu di hadapan Allah, maka ini sebagai petunjuk adanya penghormatan kepada perempuan. Laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak untuk mendapatkan pahala di sisi Allah, hak untuk memiliki dan mewarisi, dan kebebasan pribadi untuk bersikap. Bagi Qutub, Islam  begitu sangat memuliakan perempuan, memberinya kebebasan pribadi dan menghormatinya, memberinya hak-hak padanya, bukan karena pilih kasih terhadap dirinya, melainkan untuk mewujudkan tujuan terbesar Islam yaitu menghormati manusia secara keseluruhan dan mengangkat kehidupan manusia.
Lebih lanjut Qutub mengemukakan  bahwa di antara tanggungjawab yang diemban organisasi keluarga adalah 1) untuk mendapatkan ketenangan dan perlindungan kedua belah pihak, 2) mengembangkan masyarakat manusia dengan unsur-unsur yang dapat mengembangkan dan meningkatkannya.
          Meskipun berpandangan seperti tersebut di atas, Sayyid Qutub mengemukakan kepemimpinan dalam organisasi keluarga berada di tangan laki-laki. Alasan kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga adalah karena Allah melebihkan laki-laki dengan tanggungjawab kepemimpinan beserta kekhususan-kekhususan dan ketrampilan yang dibutuhkannya serta menugasi laki-laki untuk memberi nafkah kepada seluruh anggota organisasi keluarga.
          Menurut Qutub, manhaj rabbani mengenai keluarga adalah bahwa suami dan istri diberi tugas secara seimbang sesuai dengan kodrat masing-masing dan sesuai dengan fitrahnya yang berbeda-beda. Salah satu tugas wanita ialah mengandung, melahirkan, menyusui dan mengasuh buah hubungannya dengan suami. Menurut Qutub, tugas merupakan tugas besar dan penting, tidak ringan dan tidak mudah, yang harus ditunaikan oleh perempuan dengan persiapan fisik, kejiwaan, dan pikiran yang mendalam. Oleh karena itu, lanjut Qutub, adil rasanya kalau suami dibebani tugas untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya dan memberikan perlindungan kepada istri supaya dapat mencurahkan tenaga dan perhatiannya kepada tugasnya yang penting itu. Karena itu, lanjut Qutub adil pula kalau suami diberi keistimewaan dalam bentuk dan susunan fisik, saraf, pikiran, dan jiwanya yang dapat membantunya menunaikan tugas-tugasnya. Wanita juga diberi bentuk dan susunan tubuh, saraf, pikiran, dan kejiwaan yang dapat membantunya menunaikan tugas-tugasnya.
          Karena tugas-tugasnya tersebut, menurut Qutub, perempuan dibekali kekhususan berupa kelembutan, kasih sayang, perasaan yang sensitif, dan tanggapan yang amat cepat terhadap tuntutan kebutuhan anak, tanpa berpikir dan mempertimbangkan terlebih dahulu. Laki-laki juga dibekali dengan kekhususan berupa kekuatan dan keperkasaan, perasaannya tidak terlalu sensitif dan reaktif, dan selalu menggunakan pertimbangan dan pikiran sebelum bertindak dan memberikan reaksi. Sifat-sifat khusus inilah, kata Qutub yang menjadikan laki-laki lebih dapat melaksanakan kepemimpinan dan lebih layak menggeluti pekerjaannya. Dengan demikian jelas bahwa kepemimpinan laki-laki atas wanita disebabkan oleh penciptaan dan kodratnya dan itulah yang adil.
          Diutamakannya laki-laki pada posisi tersebut, karena menurut Qutub, organisasi kelaurga tidak akan berjalan tanpa kepemimpinan laki-laki. Pada sisi lain, perempuan tidak disiapkan untuk tugas tersebut. Malahan, menurut Qutub, adalah zalim bila memikulkan tugas kepemimpinan kepada perempuan. Menurut Qutub, kalau perempuan diberi pelatihan untuk mengemban tugas kepemimpinan, maka pelatihan kepemimpinannya dibatasi hanya untuk tugas keibuan.
          Dalam pandangan Qutub, kepemimpinan laki-laki atas perempuan adalah harga mati. Karena itu, menurutnya, kehidupan manusia akan mengalami kejatuhan dan kerusakan, keruntuhan dan terancam kehancuran dan kebinasaan, apabila kaidah di atas dilanggar. Menurut pengamatan Qutub, keluarga yang dipimpin oleh ayah atau laki-laki, akan melahirkan anak-anak yang baik, tidak gampang menyeleweng baik dalam perilaki dan akhlaknya.
          Meskipun demikian, masih menurut Qutub, kepemimpinan laki-laki atas perempuan, tidak dengan sendirinya dapat menghilangkan hak-hak keperdataan perempuan tersebut dan hak-haknya untuk bertindak hukum, memilih teman hidupnya dan bertindak atas nama dirinya dan terhadap hartanya.

***********************
Ketika Terjadi Nusyuz, Bagaimana Pemecahannya?
          Setelah menjelaskan kewajiban, hak, tanggungjawab, dan tugas laki-laki, rangkaian ayat berikutnya menjelaskan tentang tabiat perempuan yang beriman, salehah, dan perilaku dan tindakan imaninya dalam samudra rumah tangga. Di antara tabiat wanita salehah adalah selalu menjaga kehormatan hubungannya yang suci antara dia dan suaminya ketika suami sedang tidak berada, lebih-lebih ketika suami ada di rumah. Maka, ia tidak memperkenankan dirinya untuk dipandang, yakni menghinakan harga diri dan kehormatan dirinya, yang memang tidak diperbolehkan, karena ia merupakan belahan dari sebuah jiwa. Aturan ini, bukanlah ketetapan istri atau suami, tetapi yang menetapkan adalah Allah.
          Lawan dari wanita salehah adalah wanita yang rela melakukan nusyuz. Menurut Qutub, nusyuz adalah orang yang menonjolkan dan meninggikan (menyombongkan diri dengan melakukan pelanggaran dan kedurhakaan. Menurut Qutub, al-Qur’an telah memberi pelajaran bahwa ketika nusyuz ini masih dalam tahap permulaan atau sebelum menjadi berat dan sulit, maka segera harus dipecahkan. Tindakan preventif ini diambil untuk memperbaiki kejiwaan dan tatanan kehidupan berumah tangga, bukan untuk menambah rusaknya hati dan mengisinya dengan kebencian dan dendam, atau mengisinya dengan penghinaan dan keretakan yang menyakitkan.
          Tindakan pertama yang dilakukan ketika terjadi nusyuz adalah memberi nasehat. Tindakan yang harus dilakukan pemimpin dan kepala rumah tangga pada tahap ini adalah melakukan tindakan pendidikan, mengobati faktor-faktor yang membuat nusyuz dan lainnya.
          Tindakan kedua dilakukan, apabila tindakan pertama tidak berhasil dan pada saat yang sama perempuan masih didominasi oleh hawa nafsunya, memperturutkan perasaan, merasa lebih tinggi atau menyombongkan kecantikannya, kekayaannya, status sosial keluarganya atau kelebihan lainnya. Tindakan kedua berupa membiarkan diri ia tidur sendiri. Menurut Qutub, tempat tidur atau ranjang merupakan tempat untuk melepaskan rangsangan dan daya tarik, yang di sini, istri yang melakukan nusyuz dan menyombongkan diri merasa berada di puncak kekuasaannya. Apabila suami dapat menahan keinginannya terhadap rangsangan ini, maka gugurlah senjata utama perempuan yang nusyuz yang dibangga-banggakannya itu. Dengan pemisahan tempat tidur, diharapkan istri surut dan melunak di depan suami yang tegar.
          Berpisah tempat tidur atau tidur sendiri-sendiri, tidak dilakukan secara terang-terangan di luar tempat yang biasa suami-istri berduaan dan tidak di depan anak-anak, karena akan berdampak negatif kepada keluarga besar. Pemisahan juga tidak dengan pindah ke orang lain, dengan menghinakan istri atau menjelek-jelekkan kehormatan dan harga dirinya, karena hal itu akan menambah pertentangan. Dengan demikian, menurut Qutub, pemisahan ini bertujuan untuk mengobati nusyuz, bukan untuk merendahkan istri dan merusak anak-anak.
          Akan tetapi kalau langkah kedua tidak membuahkan hasil, agar keluarga tidak hancur berantakan, maka masih ada tindakan yang harus dilakukan untuk memecahkannya, walaupun lebih keras, tetapi lebih ringan dan lebih kecil dampaknya dibandingkan dengan kehancuran keluarga. Langkah ketiga adalah memukul. Pemukulan yang dilakukan, menurut Qutub, bukan untuk menyakiti, menyiksa dan memuaskan diri. Tidak juga untuk menghinakan atau merendahkan. Pemukulan tidak boleh dilakukan dengan keras dan kasar. Qutub mengutip hadis, janganlah seseorang di antara kamu memukul istrinya bagaikan unta, yaitu dia memukulnya pada pagi hari, tetapi kemudian pada malam harinya mencampurinya.
Semua tindakan tersebut tidak boleh dilakukan kalau kedua belah pihak berada dalam kondisi harmonis. Tindakan itu boleh dilakukan untuk menghadapi ancaman kerusakan dan keretakan. Sebab Nabi bersabda, sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik terhadap istrinya (keluarganya) dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku di antara kalian.
Mendatangkan Juru Damai
          Pemecahan dengan tindakan tersebut  dilakukan apabila nusyuz belum gawat atau masih dapat ditanggulangi. Apabila sudah gawat maka manhaj Islam yang bijaksana mengisyaratkan tindakan terakhir untuk menyelamatkan organisasi besar dari kehancuran, yaitu mendatangkan juru damai.
          Menurut Qutub, manhaj Islam tidak menyerah begitu saja ketika terjadi nusyuz dan ketidaksukaan salah satu pihak. Tidak juga segera memutuskan tali pernikahan dan tidak merobohkan organisasi rumah tangga dengan melemparkan puing-puing ke kepala para anggotanya, baik yang besar maupun yang kecil, yang tidak berdosa dan tidak bersalah, yang tidak memiliki kekuatan dan daya upaya.
          Cara terakhir ini harus segera dilakukan apabila ada kekhawatiran akan terjadinya persengketaan. Juru damai ini mencoba melakukan islah. Maksudnya, bila cerai yang diambil, maka keduanya tidak ada luka lagi (4: 233-248).

Pandangan M. Quraish Shihab mengenai tafsir ayat dalam tafsirnya, Al-Mishba>h{ Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an:

          Quraish menjelaskan bahwa yang dimaksud rijal dalam ayat tersebut adalah laki-laki secara umum, bukan suami. Sebab, kata Thahir ibn ‘Asyur, kata rijal tidak digunakan oleh bahasa Arab, bahkan bahasa al-Qur’an, dalam artyi suami. Berbeda dengan kata an-Nisa’ atau imra’ah yang digunakan untuk makna istri. Karena itu, menurutnya, penggalan ayat di atas berbicara secara umum tentang pria dan wanita dan berfungsi sebagai pendahuluan bagi penggalan kedua ayat, yaitu tentang sikap dan sifat isteri yang salehah.
          Kata Qawwamun merupakan bentuk jamak dari kata qawwam yang terambil dari kata qama. Perintah shalat, misalnya menggunakan kata tersebut. Perintah tersebut bukan berarti perintah mendirikan shalat, tetapi melaksanakannya dengan sempurna, memenuhi segala syarat, rukun dan sunnah-sunnahnya. Seseorang yang melaksanakan tugas dan atau apa yang diharapkan darinya dinamai qa’im. Kalau ia melaksanakan tugas itu sesempurna mungkin, berkesinambungan dan berulang-ulang, maka ia dinamai qawwam. Seringkali, kata Quraish, kata tersebut diterjemahkan dengan pemimpin, tetapi, katanya, seperti terbaca dari maknanya, terjemahan itu belum menggambarkan seluruh makna yang dikehendaki, walau harus diakui bahwa kepemimpinan merupakan satu aspek yang dikandungnya. Dengan kata lain dalam pengertian kepemimpinan tercakup pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan, dan pembinaan.
          Menurut Quraish, kepemimpinan untuk setiap unit merupakan sesuatu yang mutlak, termasuk dalam setiap keluarga. Hal ini karena perselisihan dan persesuaian dapat muncul seketika, namun juga dapat segera hilang. Persoalannya siapakah yang harus memimpin? Allah menetapkan laki-laki sebagai pemimpin dengan dua pertimbangan pokok, yaitu:
          Pertama, karena Allah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain, yakni masing-masing memiliki keistimewaan. Tetapi, kata Quraish, keistimewaan yang dimiliki laki-laki lebih menunjang tugas kepemimpinan daripada keistimewaan yang dimiliki perempuan. Di sisi lain, menurut Quraish, keistimewaan yang dimiliki perempuan lebih menunjang tugasnya sebagai pemberi rasa damai dan tenang kepada lelaki serta lebih mendukung fungsinya dalam mendidik dan membesarkan anak.
          Untuk mendukung pandangannya tersebut Quraish beragumen dengan sebuah analog bahwa mengapa pisau diciptakan lancip atau tajam? Mengapa bibir gelar tebal dan halus? Mengapa tidak sebaliknya? Jawabnya adalah karena ‘bentuk disesuaikan dengan fungsi’ dan bukan sebaliknya ‘ fungsi menciptakan bentuk’. Kalau pisau diciptakan lancip karena ia berfungsi untuk memotong, sedang gelas untuk di minum. Kalau bentuk gelas sama dengan pisau, maka ia akan berbahaya dan gagal dalam fungsinya. Sebaliknya kalau pisau dibentuk seperti gelas, maka sia-sialah kehadirannya dan gagal pula dalam fungsinya.
          Di samping dengan argumen di atas, Quraish juga mengemukakan beberapa argumen yang mendukung pandangannya dengan mengutip beberapa pendapat ahli, seperti Murtadha Muthahhari yang menyatakan bahwa:
         “Lelaki secara umum lebih besar dan tinggi dari perempuan, suara lelaki dan telapak tangannya besar, berbeda dengan telapak dan suara perempuan, pertumbuhan perempuan lebih cepat dari laki-laki, namun perempuan lebih mampu membentengi diri dari penyakit dibanding lelaki…Rata-rata bentuk kepala laki-laki lebih besar dari perempuan…”
          Perbedaan lain secara psikis antara laki-laki dan perempuan menurutnya antara lain, lelaki lebih cenderung pada olahraga, berburu dan pekerjaan yang melibatkan gerakan dibanding wanita. Lelaki cenderung kepada tantangan dan perkelahian sedangkan perempuan cenderung kepada kedamaian dan keramahan. Lelaki lebih agresif dan suka ribut, sementara wanita lebih tenang dan tenteram. Perempuan menghindari kekerasan terhadap dirinya atau orang lain, karena itu, jumlah perempuan yang bunuh diri lebih sedikit dari jumlah pria. Caranya pun berbeda, biasanya lelaki menggunakan cara yang lebih keras, seperti pistol, tali gantungan atau meloncat dari ketinggian, sementara perempuan menggunakan obat tidur, racun dan semacamnya. Perasaan wanita lebih cepat bangkit dari lelaki, sehingga sentimen dan rasa takutnya segera muncul, berbeda dengan lelaki yang biasanya lebih berkepala dingin dan perbedaan-perbedaan lainnya.
          Meskipun secara panjang lebar menguraikan perbedaan tersebut dan perbedaan di atas, menurut Quraish, sejalan dengan petunjuk ayat, namun katanya, sudah sewajarnya untuk tidak menilai perasaan
          Kedua, disebabkan karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka. Menurut Quraish, bentuk kata lampau yang digunakan ayat, menunjukkan bahwa memberi nafkah kepada wanita telah menjadi kelaziman bagi lelaki serta kenyataan umum dalam masyarakat umat manusia sejak dahulu hingga kini. Penyebutan konsideran itu oleh ayat menunjukkan bahwa kebiasaan lama itu masih berlaku hingga kini. Wanita, menurut Quraih, secara psikologis enggan diketahui membelanjai suami bahkan kekasihnya. Di sisi lain, pria malu jika ada yang mengetahui bahwa kebutuhan hidupnya ditanggung oleh isterinya. Karena itu, menurutnya, agama Islam yang tuntunannya sesuai dengan fitrah manusia mewajibkan suami untuk menanggung biaya hidup isteri dan anak-anaknya. Kewajiban itu diterima dan menjadi kebanggaan suami, sekaligus menjadi kebanggan isteri yang dipenuhi kebutuhan dan permintaannya oleh suami sebagai tanda cinta kepadanya.
          Masih menurut Quraish, dalam konteks kepemimpina keluarga, alasan kedua cukup logis. Bukankah, katanya, di balik setiap kewajiban ada hak? Bukankah yang membayar memperoleh fasilitas? Tetapi hakikatnya, ketetapan ini bukan hanya atas pertimbangan materi saja.
          Dari kedua faktor di atas, keistimewaan fisik dan psikis, serta kewajiban memenuhi kebutuhan isteri dan anak-anaknya, lahir hak-hak suami yang harus pula dipenuhi oleh isteri. Suami wajib ditaati oleh isterinya dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama serta tidak bertentangan dengan hak pribadi sang isteri.
          Meskipun lelaki pemimpin, namun perlu digarisbawahi, kata Quraish bahwa kepemimpinan tersebut tidak boleh mengantarnya kepada kesewenang-wenangan. Bukankah musyawarah merupakan anjuran al-Qur’an dalam menyelesaikan setiap persoalan, termasuk persoalan yang dihadapi keluarga? (2: 402-408).

B. Pandangan Mufassir Klasik

Pandangan Jalaluddin as-Sayuthi dan Jalaluddin al-Mahally mengenai tafsir ayat dalam tafsirnya, al-Jala>lin:
         
          Ar-Rija>lu qawwa>mu<na, yaitu laki-laki menguasai (musalithu<n) perempuan dengan mendidik dan membuat perempuan berada di bawah kekuasaannya. Hal ini karena laki-laki memiliki kelebihan dibanding perempuan berupa kelebihan ilmu, akal, walayah (kekuasaan), dan lain-lain dan karena laki-laki, dengan hartanya, memberi nafkah kepada perempuan. Di antara perempuan yang salihah, adalah mereka yang taat kepada suaminya dan dapat menjaga kemaluan dan lainnya, ketika suaminya tidak di rumah.
          Seandainya istri melakukan pelanggaran yang jelas, maka suami diperintahkan untuk menasehatinya agar takut kepada Allah, berpisah tempat tidur, seandainya lebih jelas lagi nusyuznya dan memukulnya dengan pukulan yang tidak melukai (ghaira mubarrih{in). Apabila istri sudah taat kepada suaminya dengan menjalankan apa yang dituntut oleh suaminya, maka suami di larang mencari-cari alasan untuk memukul istrinya.
          Bila keluarga kedua belah pihak mengetahui konflik antara suami-istri, maka keluarga, atas kerelaan keduanya mengutus laki-laki yang adil dari kerabat suami dan laki-laki yang adil dari pihak istri, masing-masing sebagai wakil para pihak untuk mendamaikan keduanya atau bercerai (2: 40-43).

Pandangan Syaikh Ahmad as-Sha>wi< al-Ma>liky< mengenai tafsir ayat dalam tafsirnya, Ha>syiyah as-Sha>wi< ‘ala> Tafsi<r al-Jala>lain:

          Ar-Rija>lu qawwa>mu<na. Latarbelakang turunnya ayat ini adalah bahwa istri Sa’d ibn Rabi’, salah satu tokoh kaum anshar yang bernama Habibah binti Zaid telah nusyuz, kemudian menamparnya. Atas peristiwa tersebut, ayah dari Habibah mengadu kepada Nabi dan menjelaskan kepadanya bahwa suami Habibah telah menampar Habibah. Nabi kemudian menegaskan, agar suami Habibah di qishas. Setelah mendapat jawaban tersebut keduanya pergi meninggalkan Nabi, sambil Nabi berpesan agar segera pulang, karena Jibril datang kepadanya dan membaca ayat tersbut. Nabi kemudian bersabda: Kami menghendaki sesuatu, tapi Allah juga menghendaki sesuatu yang lain dan tidak ada yang dikehendaki Allah kecuali baik. Latarbelakang ini, menurut as-Shawi sebagai sisipan yang bertujuan untuk menjelaskan keunggulan laki-laki atas perempuan.
          Menurut as-Shawi, keunggulan itu karena dua hal, anugerah dan usaha. Perlu diketahui, kata as-Shawi bahwa sebagian laki-laki lebih utama daripada perempuan. Hal ini tidak menafikan bahwa ada juga sebagian individu-individu perempuan yang lebih utama dari individu-individu laki-laki seperti Maryam binti ‘Imran, Fatimah az-Zahra’, Khadijah dan ‘Aisyah.
          Menurut as-Shawi ada beberapa keunggulan laki-laki dibanding wanita, di antaranya tambah akal dan agamanya, kekuasaan dan persaksian, jihad, Jum’at, jama’ah, para nabi semuanya laki-laki, laki-laki dapat poligami sampai empat ketika di dunia dan dapat memperistri perempuan lebih banyak ketika di surga, dan talak serta talak raj’i ada pada laki-laki.
          Menurut as-Shawi, kalau istri membangkang perintah suaminya, yaitu perintah yang bukan ma’siat kepada Allah, maka suami wajib memberi ma’idzah kepada istrinya, kemudian bila tetap membangkang, langkah keduanya adalah berpisah ranjang, sampai langkah ketiga yaitu memukul yang tidak melukai yaitu sampai pecah tulangnya atau membuat tidak berfungsi anggota badannya. Dua langkah yang terakhir, menurut Shawi, baru dilakukan ketika istri nyata-nyata melakukan nusyuz (2: 40-43).

Pandangan Sulaiman ibn Umar al-Ujaily as-Sya>fi’i yang dikenal dengan nama Jamal< mengenai tafsir ayat dalam tafsirnya, al-Futu<h{a>tul Ila>hiyyah bi Taudli<h{i Tafsi<r al-Jala>lain lid Daqa>’iqil khafiyyah:

          Ar-Rijalu qawwamuna merupakan sisipan yang menjelaskan sebab lebih berhaknya laki-laki untuk mendapat bagian lebih dari perempuan dalam warisan dan hak-hak lainnya yang umum. Kelebihan bagian itu disebabkan dua hal, satu bersifat anugerah dan dua bersifat kasby atau diusahakan. Setelah penjelasan tersebut Jamal menjelaskan latarbelakang turunnya ayat tersebut. Latarbelakang yang disebutkan sama seperti yang dijelaskan oleh as-Shawi.
Kata qawwamuna, menurut Jamal merupakan bentuk jamak dari kata qawwam, yang berarti yang menegakkan kemaslahatan dan pengasuhan, dan pendidikan. Laki-laki membeckup perempuan dan sungguh-sungguh dalam menjaganya.
Bima> faddlalalla>h berhubungan dengan qawwamuna. Ba’-nya adalah ba’ sababiyah dan mim-nya adalah mim mashdariyah. Maksud dari ungkapan tersebut adalah bahwa Allah telah melebihkan laki-laki atas wanita dalam beberapa hal, di antaranya tambah akal-nya, agama, perwalian, jihad, Jum’at, jama’ah, dan imamah. Nabi-nabi, khalifah dan para imam, semuanya laki-laki. Laki-laki boleh menikahi empat perempuan sementara perempuan hanya boleh dengan satu laki-laki. Laki-laki mendapat bagian lebih dalam warisan dan dalam genggamannya kekuasaan untuk talak, nikah dan raj’i. Kepada lak-laki juga, nasab anak manusia dinisbahkan. Semua itu, menurit Jamal, sebagai petunjuk bahwa laki-laki lebih unggul daripada perempuan.
Wabima anfaqu, sebagaimana bima faddlalallah, berhubungan dengan qawwamuna yang berarti dikarenakan laki-laki memberi nafkah maka ia harus ditaati. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi dari Abu Hurairah: seandainya diperintahkan seseorang boleh sujud kepada yang lainnya, maka saya perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Menurut Jamal, suami diperintah untuk mendidik istrinya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi dari Abu Hurairah (juga): berwasiatlah yang baik kepada perempuan, karena perempuan itu tercipta dari tulang rusuk. Apabila tulang rusuk itu bengkok, maka luruskanlah, sebab apabila tidak, maka ia akan mematahkan laki-laki. Tetapi kalau dibiarkan, maka  bengkok. Maka berwasiatlah yang baik kepada perempuan.
Nusyuz, menurut Jamal adalah cenderung pada kejahatan. Nusyuznya istri adalah ketika ia benci kepada suaminya dan sombong kepadanya. Bila jelas-jelas terjadi nusyuz, maka seorang suami menasehati istrinya, kemudian pisah ranjang dan terakhir memukulnya, bila tindakan ini dianggap berfaidah. Tindakan pemukulan yang dilakukan suami tidak boleh sampai melukai, seperti sampai tulangnya patah atau membuat disfungsinya anggota tubuh. Tiga tindakan itu dilakukan suami bila sudah sangat jelas, tidak berdasarkan prasangka. Tiga tindakan tersebut dilakukan dengan berurutan (1: 378-379).

Wallahua’lam bissowab.                                                                  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar