Selasa, 24 Februari 2015

PUJANGGA



Jika cinta itu Pesantren, maka, akanku penuhi fikiranku dengan ilmu-ilmu cinta, agar aku bisa memahami luasnya cinta sebagaimana luasnya ilmu dalam kitab-kitab kuning pesantren
Jika cinta itu Nahwu, maka, cintaku padamu akan jazm [mantab], sehingga aku akan sukun [tenang] di sampingmu selamanya, seperti halnya i'rob jazm yang salah satu alamatnya adalah sukun

Jika cinta itu Shorof, maka, kita berdua adalah wazan tafaa'ala yang berfaidah musyarokah, yang kapanpun dan di mana pun akan mengarungi dan menjalani apapun berdua

Jika cinta itu Fiqh, maka, aku akan memfatwakan pada diriku sendiri bahwa mencintai keindahan ciptaan Tuhan sepertimu, hukumnya adalah wajib

Jika cinta itu I'lal, maka, aku akan menyembunyikan dan menutup mata terhadap semua kekurangan-kekurangan mu, seperti halnya binak Naqish yang meletakkan huruf 'Illat nya di belakang [Lam Fi'il]

Jika cinta itu Ilmu al-Qur’an, maka, keabadian cinta kita tak kan lekang oleh waktu dan tak kan berubah sedikitpun oleh perubahan zaman, layaknya keontektikan dan keabadian isi al-Qur’an

Jika cinta itu Ilmu Hadith, maka, kualitas dan kekuatan cinta kita adalah hadith shohih yang sudah teruji dan terverifikasi oleh berbagai tempaan dan ujian

Jika cinta itu Ushul Fiqh, maka, kita berdua adalah pasangan paling ideal dan serasi, seperti halnya syarat dan rukun yang saling membutuhkan dan melengkapi untuk sahnya suatu ibadah

Jika cinta itu Ilmu Falak,
maka, aku akan selalu menunggu dan merindukan hadirmu, mata ini belum terhapus dahaganya sebelum melihat sosok indahmu, seperti halnya seorang peru-yah yang selalu menunggu untuk melihat kemunculan hilal 1 Syawal

Jika cinta itu Ilmu 'Arudl, maka, kisah cinta kita berdua adalah simfoni terindah yang menghasilkan harmoni tak tertandingi di muka bumi ini, seindah dan semerdu harmoni syair berbahar Rojaz

Jika cinta itu Ilmu Faroidl, maka, kita berdua adalah dua sejoli yang akan selalu berbagi atas apa yang kita miliki, seperti halnya 'Ashôbah ma'a al-ghoyr

Jika cinta itu Ilmu Tauhid, maka, value cintaku padamu adalah kemurnian emas 24 karat, semurni i’tiqodnya ahli tauhid Rubûbiyyah

Jika cinta itu Ilmu Tarikh, maka, romantisme kisah cinta kita berdua adalah kenangan terindah tak terlupakan yang terukir oleh tinta emas sejarah, seperti halnya masa keemasan dan kejayaan peradaban islam tempo dulu

Jika cinta itu Diba-an, maka, aku adalah seorang pendaki yang telah sampai di puncak rindu untuk menantikan detik-detik pertemuan denganmu, seperti halnya para perindu Rasulullah SAAW yang telah sampai pada adegan mahal al-qiyâm

Jika cinta itu Manaqiban, ةaka, hanya dirimulah yang mampu menghapus duka-lara ku dan menentramkan gundah hati ku dengan kata-kata indah dan janji pastimu, seperti halnya jaminan kanjeng syekh Ra., yang menentramkan hati murid-muridnya: 
 "wa-anâ likulli man 'atsaro markûbuHhû min jamî'i murîdîy wa muhibbîy ilâ yawmi al qiyâmaHh, âkhudzu biyadiHî kullamâ hayyan wa maytan, fainna farosîy musroj, wa rumhîy manshûb, wa sayfîy masyhûr wa qouwsîy mawtûr, LIHIFDZI MURÎDÎY WAHUWA GHÔFIL"

Ciri-ciri Sifat, Keutamaan, dan Pahala bagi Istri Sholehah




Kebanyakan laki-laki lebih memperhatikan penampilan dzahir seorang wanita, sementara unsur akhlak dari wanita tersebut kurang diperhatikan. Padahal akhlak dari pasangan hidupnya itulah yang akan banyak berpengaruh terhadap kebahagiaan rumah tangganya.
Abdullah bin Amr radhiallahu ‘anhuma meriwayatkan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الدُّنْيَا مَتاَعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ
“Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim no. 1467)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu:
أَلاَ أُخْبِرَكَ بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ، اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا سَرَّتْهَ وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهَ وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهَ
“Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri shalihah yang bila dipandang akan menyenangkannya, bila diperintah akan mentaatinya, dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga dirinya.” (HR. Abu Dawud no. 1417. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata dalam Al-Jami’ush Shahih 3/57: “Hadits ini shahih di atas syarat Muslim.”)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah pula bersabda:
أَرْبَعٌ مِنَ السَّعَادَةِ: اَلْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، وَالْمَسْكَنُ الْوَاسِعُ، وَالْجَارُ الصَّالِحُ، وَالْمَرْكَبُ الْهَنِيُّ. وَأَرْبَعٌ مِنَ الشّقَاءِ: الْجَارُ السّوءُ، وَاَلْمَرْأَةُ السُّوءُ، وَالْمَركَبُ السُّوءُ، وَالْمَسْكَنُ الضَّيِّقُ.
“Empat perkara termasuk dari kebahagiaan, yaitu wanita (istri) yang shalihah, tempat tinggal yang luas/ lapang, tetangga yang shalih, dan tunggangan (kendaraan) yang nyaman. Dan empat perkara yang merupakan kesengsaraan yaitu tetangga yang jelek, istri yang jelek (tidak shalihah), kendaraan yang tidak nyaman, dan tempat tinggal yang sempit.” (HR. Ibnu Hibban dalam Al-Mawarid hal. 302, dishahihkan Asy-Syaikh Muqbil dalam Al-Jami’ush Shahih, 3/57 dan Asy-Syaikh Al Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah no. 282)
Ketika Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai Rasulullah, harta apakah yang sebaiknya kita miliki?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
لِيَتَّخِذْ أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا وَلِسَاناً ذَاكِرًا وَزَوْجَةً مُؤْمِنَةً تُعِيْنُ أَحَدَكُمْ عَلَى أَمْرِ الآخِرَةِ
“Hendaklah salah seorang dari kalian memiliki hati yang bersyukur, lisan yang senantiasa berdzikir dan istri mukminah yang akan menolongmu dalam perkara akhirat.” (HR. Ibnu Majah no. 1856, dishahihkan Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahih Ibnu Majah no. 1505)
Cukuplah kemuliaan dan keutamaan bagi wanita shalihah dengan anjuran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi lelaki yang ingin menikah untuk mengutamakannya dari yang selainnya. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ ِلأََرْبَعٍ: لِمَالِهَا وَلِحَسَبِهَا وَلِجَمَالِهَا وَلِدِيْنِهَا. فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّيْنِ تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita itu dinikahi karena empat perkara yaitu karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka pilihlah olehmu wanita yang punya agama, engkau akan beruntung.” (HR. Al-Bukhari no. 5090 dan Muslim no. 1466)
Lalu, bagaimanakah ciri-ciri wanita solehah itu? Dan Apa keutamaan yang di miliki oleh seorang wanita solehah?Nah, dalam ulasan ini saya tidak akan menceritakan secara rinci tentang apa saja ciri-ciri yang dimiliki oleh seorang wanita yang solehah. Namun dalam tulisan tentang ciri-ciri dan keutamaan wanita solehah ini, saya akan sampaikan mengenai pahala, manfa’at ataupun keutamaan-keutamaan bagi wanita yang solehah.
~ SIFAT ISTRI SHOLEHAH:
1. Penuh kasih sayang
selalu kembali kepada suaminya dan mencari maafnya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Maukah aku beritahukan kepada kalian, istri-istri kalian yang menjadi penghuni surga yaitu istri yang penuh kasih sayang, banyak anak, selalu kembali kepada suaminya. Di mana jika suaminya marah, dia mendatangi suaminya dan meletakkan tangannya pada tangan suaminya seraya berkata: “Aku tak dapat tidur sebelum engkau ridha.” (HR. An-Nasai dalam Isyratun Nisa no. 257. Silsilah Al-Ahadits Ash Shahihah, Asy- Syaikh Al Albani rahimahullah, no. 287)
2. Melayani suaminya (berkhidmat kepada suami)
seperti menyiapkan makan minumnya, tempat tidur, pakaian, dan yang semacamnya.
3. Menjaga rahasia-rahasia suami
lebih-lebih yang berkenaan dengan hubungan intim antara dia dan suaminya. Asma’ bintu Yazid radhiallahu ‘anha menceritakan dia pernah berada di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika itu kaum lelaki dan wanita sedang duduk. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Barangkali ada seorang suami yang menceritakan apa yang diperbuatnya dengan istrinya (saat berhubungan intim), dan barangkali ada seorang istri yang mengabarkan apa yang diperbuatnya bersama suaminya?” Maka mereka semua diam tidak ada yang menjawab. Aku (Asma) pun menjawab: “Demi Allah! Wahai Rasulullah, sesungguhnya mereka (para istri) benar-benar melakukannya, demikian pula mereka (para suami).” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan lagi kalian lakukan, karena yang demikian itu seperti syaithan jantan yang bertemu dengan syaitan betina di jalan, kemudian digaulinya sementara manusia menontonnya.” (HR. Ahmad 6/456, Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Adabuz Zafaf (hal. 63) menyatakan ada syawahid (pendukung) yang menjadikan hadits ini shahih atau paling sedikit hasan)
4. Selalu berpenampilan yang bagus dan menarik di hadapan suaminya
sehingga bila suaminya memandang akan menyenangkannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik perbendaharaan seorang lelaki, yaitu istri shalihah yang bila dipandang akan menyenangkannya, bila diperintah akan mentaatinya dan bila ia pergi si istri ini akan menjaga dirinya”. (HR. Abu Dawud no. 1417. Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah berkata dalam Al-Jami’ush Shahih 3/57: “Hadits ini shahih di atas syarat Muslim.”)
5. Ketika suaminya sedang berada di rumah (tidak bepergian/ safar), ia tidak menyibukkan dirinya dengan melakukan ibadah sunnah yang dapat menghalangi suaminya untuk istimta’ (bernikmat-nikmat) dengannya seperti puasa, terkecuali bila suaminya mengizinkan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Tidak halal bagi seorang istri berpuasa (sunnah) sementara suaminya ada (tidak sedang bepergian) kecuali dengan izinnya”. (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026)
6. Pandai mensyukuri pemberian dan kebaikan suami, tidak melupakan kebaikannya
karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: “Diperlihatkan neraka kepadaku, ternyata aku dapati kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita yang kufur.” Ada yang bertanya kepada beliau: “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Beliau menjawab: “Mereka mengkufuri suami dan mengkufuri (tidak mensyukuri) kebaikannya. Seandainya salah seorang dari kalian berbuat baik kepada seorang di antara mereka (istri) setahun penuh, kemudian dia melihat darimu sesuatu (yang tidak berkenan baginya) niscaya dia berkata: “Aku tidak pernah melihat darimu kebaikan sama sekali.” (HR. Al-Bukhari no. 29 dan Muslim no. 907)
7. Bersegera memenuhi ajakan suami untuk memenuhi hasratnya, tidak menolaknya tanpa alasan yang syar’i, dan tidak menjauhi tempat tidur suaminya
karena ia tahu dan takut terhadap berita Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah seorang suami memanggil istrinya ke tempat tidurnya lalu si istri menolak (enggan) melainkan yang di langit murka terhadapnya hingga sang suami ridha padanya.” (HR. Muslim no.1436
~ KEUTAMAAN & PAHALA BAGI ISTRI SHOLEHAH
1. Satu orang wanita yang solehah lebih baik daripada 70 orang wali atau laki-laki yang sholeh.
2. Satu orang wanita yang jahat akhlaqnya, lebih buruk daripada 1000 orang laki-laki yang juga jahat akhlaqnya.
3. Dua raka’at sholatnya wanita yang sedang hamil, lebih baik daripada 80 raka’at sholatnya wanita yang tidak hamil.
4. Apabila seorang suami pulang kerumah dalam keadaan gelisah dan tidak tentram, kemudian sang istri menghiburnya, maka ia akan mendapatkan setengah dari pahala jihad.
5. Wanita yang hamil sampai ia melahirkan anak, maka Allah Swt. akan memberikan pahala kepadanya bagaikan pahala berpuasa di siang hari dan sholat sepanjang malam.
6. Seorang wanita yang meninggal dunia pada masa 40 hari setelah ia melahirkan anak, maka ia akan mendapatkan pahala syahid.
7. Jika seorang anak menangis pada malam hari dan ibunya tidak memarahinya, dan bahkan membujuknya, maka ibu itu akan mendapat pahala ibadah.
8. Seorang wanita yang melahirkan akan mendapatkan pahala 70 tahun sholat sunnat dan puasa, dan setiap kesakitan yang di alaminya ketika melahirkan akan mendapat pahala haji yang mabrur.
9. Seorang wanita yang tidak dapat tidur pada malam hari karena mengurus anaknya yang sakit atau demam, maka Allah Swt. akan memberikan pahala kepadanya seperti pahala memerdekakan 20 orang hamba sahaya.
10. Wanita yang tidak dapat tidur pada waktu malam karena menyusui anaknya, Allah Swt. akan mengampuni dosa-dosanya dan di beri pahala 12 tahun ibadah.
Itulah beberapa pahala dan keutamaan menjadi wanita yang solehah.
11. Wahai wanita, jika suami minum air yang disediakan istrinya maka hal itu lebih baik dari puasa 1 tahun.
12. Jika istri menyediakan makan dan suami memakannya, maka hal tersebut lebih baik dari mengerjakan haji/umrah.
13. Junub istri karena melayani suami lebih baik dari qurban 1000 kambing.
14.Tidak akan putus pahala istri yang siang malam menggembirakan suami.
15. Wanita yang menjaga kehormatannya dan taat pada suami maka dapat masuk pintu syurga dari arah yang disukainya.
16. Wanita yang dapat memelihara anak dengan baik dapat menjadikannya benteng dari neraka.
17.Jika wanita memandang yang baik dan harmonis kepada suami hal tersebut sama dengan dzikir.
18.Hamil istri adalah syahid dan khidmat dan suaminya adalah jihad.
Jadilah istri sholehah untuk bekal akhirat nanti, karena janji Allah tidak pernah bohong. Semoga artikel singkat ini dapat memotivasi para wanita bangsa ini untuk menjadi wanita yang solehah. Karena kebaikan suatu bangsa terletak pada moral dan prilaku para wanitanya.
“Wallahu A’lam Bish Showab”
~semoga bermanfaat~

Minggu, 22 Februari 2015

KEISTIMEWAAN AYAT 5


Lima ayat yang huruf awalnya Kaf-Ha-Ya-‘Ain-Shod dan di akhiri dengan huruf Ha-Mim-‘Ain-Sin-Qof. Lima ayat ini memiliki banyak kegunaan dan manfaat untuk kesenangan ketika dalam kesulitan atau ketakutan. Maka carilah sesuatu yang kau inginkan sesuai dengan ajaran agama atau syar’i. dan bila tidak sesuai dengan agama hal itu akan membahayakan bagi dirimu. Bukalah kedua matamu. Dan inilah ke lima ayat tersebut :
Ayat Pertama :
Sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, Maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. ( QS. Al-Kahfi : 45 )
Ayat Kedua :
Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. ( QS. Al-Hasyir : 22 )
Ayat ke tiga :
Berilah mereka peringatan dengan hari yang dekat (hari kiamat yaitu) ketika hati (menyesak) sampai di kerongkongan dengan menahan kesedihan. orang-orang yang zalim tidak mempunyai teman setia seorangpun dan tidak (pula) mempunyai seorang pemberi syafa’at yang diterima syafa’atnya. ( QS. Al-Mu’min : 18 )
Ayat ke empat :
• • •
Maka tiap-tiap jiwa akan mengetahui apa yang telah dikerjakannya. sungguh, aku bersumpah dengan bintang-bintang, yang beredar dan terbenam, demi malam apabila telah hampir meninggalkan gelapnya, dan demi subuh apabila fajarnya mulai menyingsing, ( QS. At-Takwir : 14 – 18 )
Ayat Ke 5 :
• ،
Shaad, demi Al Quran yang mempunyai keagungan. Sebenarnya orang-orang kafir itu (berada) dalam kesombongan dan permusuhan yang sengit. ( QS. Shaad : 1-2 )
Cara membaca ayat tersebut jika diniatkan untuk Mahabbah :
بسم الله الرحمن الرحيم
، (ياَهَفْقَلْزَائِيْلُ ) ، ( ياَكَغْشَكَياَئِيْلُ ) ، ( ياَدَغْذَياَئِيْلُ ) ، • ، • ، • ، ، (ياَ وَغْرَلَهَائِيْلُ )، • ، (ياَدَغْشَعَباَئِيْلُ )
Doa Hajatnya :
تَوَكَّلُوْا ياَخُدَّامَ هَذِهِ اْلآياَتِ وَ يَـأَيُّهَا السَّيـِّدُ مَيْطَطَرُوْنَ بِتَهْيِـيْجِ قَلْبِ ( فلان بن فلانة ) عَلَى مَحَـبَّتِى وَمَوَدَّتِى، اَلْعَجَلَ.x2، اَلْوَحَا.x2، اَلسَّاعَةَ.x2، عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ بْنِ دَاوُدَ عَلَيْهِمَاالسَّلاَمُ بِحَقِّ اْلإِنْجِيْلِ وَالتَّوْرَاةِ وَالزَّبُوْرِ وَبِحَقِّ الْفُرْقَانِ وَ بِحَقِّ مُحَمَّدِنِ الْمُصْطَفَى صَلَّى الله عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَ بِحَقِّ هَذِهِ اْلآياَتِ الْعِظَامِ وَاْلأَسْمَاءِ الْكِرَامِ وَ بِحَقِّ كَجَفْظَمَهْيُوْشٍ ، اَللَّهُمَّ إِنِّى أَسْأَلُكَ أَنْ تُسَخِّرَلِى قَلْبَ ( فلان بن فلانة ) عَلَى مَحَبَّتِى وَمَوَدَّتِى نَصْرٌ مِنَ اللهِ وَفَتْحٌ قَرِيْبٌ.
Jika untuk mahabbah di baca pada hari Jum’at sebelum sholat Jum’at 93 kali, karena itu merupakan doa yang sudah di coba kemujarabannya, yang shohih dan tidak ada keraguan di dalamnya.
Jika kamu ingin mencari seseorang atau menginginkan seseorang, jika orang itu berada di negeri yang sama atau berada di negeri yang berjauhan maka bacalah ayat ini 66 kali, maka kamu akan menemukan orang yang kamu cari.
Dan jika terasa sulit mendapatkan hajatmu atau menginginkan sesuatu dari orang lain, maka bacalah ayat tersebut 66 kali. Insya Allah, Allah akan mengabulkan keinginanmu.
Hasil dari keterangan ini adalah, jika kamu inginkan sesuatu yang baik atau mencegah hal yang jelek, maka dawamkan ayat ini dengan ‘iqtikad yang sempurna sesuai dengan jumlah yang di sebutkan tetapi kamu mengganti pada kalimat yang engkau sebutkan untuk mahabbah dengan kalimat yang sesuai dengan niat dan keinginanmu. Berikut contoh doa yang bisa di pergunakan :
Doa untuk kesembuhan dan kesedihan :
اَللَّهُمَّ اشْفِنىِ وَفَـرِّجْ هَمِّى وَ حُزْنِى وَ غَمِّىْ
“ Wahai Allah sembuhkanlah kami dan hilangkan kesulitan kami, kesedihan kami dan kesusahan kami “
Doa agar dapat membayar hutang dan di luaskan rezeqinya :
اَللَّهُمَّ اقْضِ دَيْـنِى وَارْزُقْنِى رِزْقاً حَلاَلاً وَاسِعاً بِلُطْفِكَ وَكَرَمِكَ ياَأَرْحَمَ الرَّحِمِيْنَ
“ Wahai Allah lunaskanlah hutang kami, berilah kami rezeqi dari rezeqi yang halal dan luas dengan kelembutan-MU dan Kemuliaan-MU Wahai Yang Paling Penyayang diantara penyayang “
Doa Perlindungan dari segala macam Bala’ Bencana :
اَللَّهُمَّ احْفَظْنِى مِنَ الْبَلاَءِ وَالْقَضَاءِ وَاْلاَعْدَاءِ وَالْحَرَقِ وَالْغَـرَقِ وَالسَّـرْقِ بِحُرْمَةِ هَذِهِ اْلآياَتِ وَالْخَصَائِصِ وَاْلاَسْرَارِ وَ بِحُرْمَةِ حَبِيْبِكَ سَيِّدِ اْلاَبْـرَارِ وَ بِحُرْمَةِ آلِهِ وَ أَصْحَابِهِ اْلاَخْـيَارِ.
“ Wahai Allah, lindungilah kami dari semua bala’ dan bencana, dari musuh, dari kebakaran, dari tengelam, dari kehilangan dengan kemuliaan ayat ini serta keistimewaan dan rahasianya dan dengan kemuliaan kekasih-MUNabi Muhammad SAW, junjungan orang-orang yang baik dan dengan kemuliaan keluarga dan sahabatnya yang terpilih.”
Ketahuilah bahwasanya ini adalah wirid dari Al-Amir As-Sayyid Al-Bukhori Ra. Beliau berkata,” Barangsiapa membaca Huruf-huruf ini beserta ayat-ayatnya maka akan dapat mengalahkan musuhnya, dan dicintai di dalam hati semua orang.

Rabu, 18 Februari 2015

Wahai bidadariku !


Wahai calon bidadariku..
Tahukah engkau betapa Allah SWT menyayangiku dengan amat sempurnanya..??
Disini, di istana penantian ini aku di tempa untuk menjadi dewasa dan siap mendampingimu kelak.
Meski terkadang tempaan itu tidak kusyukuri, namun aku merasa, Menjadi lebih baik saat ini
Hatiku yg rapuh berkali-kali diuji agar menjadi tangguh.
Sehingga kelak saat kita bertemu, kau akan bangga setelah memiliki aku di hatimu.
Entah siapa dan dimana dirimu sekarang, tapi aku yakin, Allah pun juga amat mencintaimu.
Dan kini telah melatihmu, menjadi mujahidah yg tangguh, hingga aku pun bangga memilikimu kelak.
Sebuah kisah pernah ku dengar :
"Aku meminta pada Allah setangkai bunga yg indah. Dia memberi aku kaktus berduri.
Aku meminta pada Allah hewan yg mungil nan cantik.
Dia beri aku ulat berbulu.
Aku sempat kecewa dan protes, betapa tidak adilnya ini..
Namun kemudian kaktus itu berbunga sangat indah sekali
Dan ulat bulu pun tumbuh dan berubah menjadi kupu-kupu yg teramat cantik.
Itulah jalan Allah, indah pada waktunya.
Allah tidak memberi apa yg kita inginkan, tetapi Allah memberi apa yg kita perlukan.
" Aku yakin kau lah yg aku memerlukanmu untuk mendampingiku kelak.
Meski ku bukan seperti apa yg kau harapkan.
Tapi, selama nafas ini masih ada, ku akan selalu berusaha berikan yg terbaik menurut-Nya.
Insya Allah..
Wahai calon bidadariku..
Aku ini seorang yg sangat cemburu,
Tapi kalau Allah dan Rasullullah lebih kau cintai daripada aku
Aku harus rela, aku harap begitu pula dengan dirimu.
Karena cemburunya seorang suami adalah bukti bahwa engkau Begitu ingin melindungiku, menjaga kehormatanku.
Saat aku masih dalam asuhan ayah dan bunda,
Tidak lain do'aku adalah ingin menjadi anak yg sholeh,
Agar kelak di akhirat dapat menjadi bekal tabungan kedua orang tuaku.
Namun nanti setelah menjadi suamimu, do'aku bertambah,
Semoga Allah menjadikan ku pendamping ( suami ) yg sholeh.
Agar kelak di syurga kita dipertemukan dan cukup aku yg menjadi pahlawanmu mendampingi dirimu yg sholehah.
Apa yg kuharapkan darimu adalah kesholehanmu,
Semoga sama halnya dengan dirimu
Karena apabila rupawan yg kau harapkan dariku, Hanya kesia-siaan yg akan kau dapati.
Wahai calon bidadariku yg dirahmati Allah..
Aku masih haus akan ilmu.
Namun berbekal ilmu yg kumiliki saat ini
Aku berharap dapat menjadi suami yg senantiasa mendapat Keridhaan Allah dan dirimu.
Ketika kelak telah akhir generasi penerus dakwah islam dari pernikahan kita,
Bantu aku untuk bersama mendidik dan membesarkannya dengan Harta yg halal, Ilmu yg bermanfaat, dan terutama dengan menanamkan pada diri mereka Ketaatan kepada Allah SWT dan RasulNya.
Apabila suatu hari nanti hanya ada sebuah gubuk menjadi perahu pernikahan kita.
Tak akan ku namai dengan " gubuk derita ".
Karena itulah markas dakwah kita.
Tempat kita nantinya mengatur strategi, mendidik mujahid/mujahidah kecil kita untuk menjadi tangguh.
Wahai calon bidadariku..
Coretan ini hanyalah sebagian kecil dari isi hatiku
Kelak saat kita bertemu, siapkanlah dirimu untuk mendengar konsep masa depan Yang ingin kurajut bersamamu.
Pertemuan denganmu kelak, adalah kejutan besar yg tengah Allah persiapkan untuk kita.
Semoga ridha Allah sentiasa menyertai kita dalam langkah dan harakah kita.

Hak dan Kewajiban Istri terhadap Suami menurut Islam


Apa jawaban anda selaku seorang muslim atas pertanyaan "Siapakah yang berkewajiban memasak, mencuci pakaian, menyapu dan tugas-tigas rumah tangga lainnya menurut syariat Islam ? Istri atau Suami ?"
Jika anda menjawab "Istri", maka selayaknyalah anda meluangkan waktu untuk membaca dan mempelajari artikel ini, karena jawaban anda "salah".

Ketika seorang muslim telah mengucapkan akad dalam prosesi pernikahan, berarti nahkoda pernikahan sudah mulai dijalankan. Suami dan istri harus merapat untuk bekerjasama, melakukan kewajibannya masing-masing dan memperoleh hak-hak mereka seperti yang sudah dijanjikan dan dijelaskan dalam agama Islam.
.
Baik UU ataupun KHI sudah merumuskan secara jelas tentang tujuan perkawinan yaitu untuk membina keluarga yang bahagia, kekal dan abadi berdasarkan tuntunan syari’at dari Tuhan Yang Maha Esa. Jika tujuan perkawinan tersebut ingin terwujud, sudah barang tentu tergantung pada kesungguhan dari kedua pihak, baik itu dari suami maupun istri. Oleh karena itu perkawinan tidak hanya dipandang sebagai media untuk merealisasikan syari’at Allah agar mendapatkan kebaikan di dunia dan di akhirat.

Dari sisi hak dan kewajiban seorang istri terhadap suaminya menurut syariat Islam, ternyata masih banyak muslimah yang telah menjadi seorang istri dari suaminya belum mengetahui secara benar apa saja kewajiban pokok bagi seorang istri. Dalam agama Islam, kewajiban seorang istri terhadap suaminya hanya ada dua, yaitu: (1) kewajiban melayani suami secara biologis dan (2) kewajiban taat pada suaminya dalam segala hal selain maksiat.

Dalam suatu hadits, diriwayatkan Abdurrahman bin Auf menjelaskan bahwa Rasulullah Saw. bersabda:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
Artinya : “Apabila seorang laki-laki mengajak istrinya ke ranjangnya, lalu sang istri tidak mendatanginya, hingga dia (suaminya –ed) bermalam dalam keadaan marah kepadanya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi tiba.” (HR. Bukhari dan Muslim)


Hak dan Kewajiban Istri terhadap Suami menurut IslamKewajiban istri untuk taat pada suami bermacam-macam bentuknya. Misalnya menjaga harta suaminya saat ditinggal pergi, tidak memasukan laki-laki lain kedalam rumah tanpa izin suaminya, tidak meninggalkan rumah kecuali dengan izin suaminya, menjaga kehormatannya, dan lain-lain.

Di Indonesia, sudah menjadi kebiasaan adat bahwa para istri wajib untuk memasak, mencuci baju, membersihkan rumah dan yang lainnya? Apakah hal itu sesuai dengan syariat Islam?

Allah Ta’ala berfirman:
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian  yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (QS. AnNisa’ : 34)

Makanan, pakaian dan tempat tinggal merupakan sesuatu yang secara umum dipandang terlebih dahulu dalam persoalan nafkah suami. Masih banyak orang yang berfikir bahwa nafkah makanan tersebut berupa bahan mentah, akan tetapi sebenarnya nafkah yang berupa makanan tersebut adalah makanan yang sudah siap dikonsumsi. Adapun proses dalam menjadikannya siap untuk dikonsumsi adalah tugas suami. Maka pekerjaan-pekerjaan seperti memasak, menyapu, dan membersihkan rumah adalah kewajiban seorang suami !

Jika melihat sirah para shahabiyah, pernah diceritakan bahwa Fatimah radhiyallohu anha, putri Rasulullah Saw. mengadu pada baginda Nabi, karena tangannya yang sakit dan lecet saat menggiling gandum. Ia meminta pembantu pada Rasulullah Saw., namun Rasul tidak memberinya. Hal ini menunjukan bahwa Fatimah r.a. bersusah-payah membantu suaminya dalam hal nafkah makanan.

Dalam riwayat lain, Said bin Amir, seorang gubernur hims, sahabat yang mulia selalu melaksanakan tugasnya dalam mengurus rumah, sehingga banyak penduduk yang komplain akibat keterlambatannya dalam berkhidmat pada masyarakat.

Empat imam madzhab utama dan ulama lainnya, secara umum juga berpendapat bahwa tugas memasak, mencuci dan membereskan rumah bukanlah tugas istri, akan tetapi tugas suami.

Di dalam kitab Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzdzab karya Abu Ishaq Asy-Syirazi rahimahullah, disebutkan: Tidak wajib atas istri berkhidmat untuk membuat roti, memasak, mencuci dan bentuk khidmat lainnya, karena yang ditetapkan (dalam pernikahan) adalah kewajiban untuk memberi pelayanan seksual (istimta’), sedangkan pelayanan lainnya tidak termasuk kewajiban.

Jika melihat pada fikih kontemporer, Syekh Dr. Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa tugas suami membereskan rumah tersebut diserahkan pada istri, sebagai timbal balik atas nafkah yang diberikan suami. Tapi suami hendaknya memberi gaji atau upah pada istrinya atas kelelahan istrinya diluar nafkah kebutuhan keluarga.

Lalu bagaimana seharusnya sikap perempuan Indonesia yang berbudaya timur yang mempunyai adat mengurus rumah dalam masyarakat?
Adat merupakan kebudayaan yang mencerminkan kepribadian masyarakatnya. Jika adat tersebut memberi manfaat dan tidak bertentangan dengan syariat islam, serta lazim dilakukan oleh seorang istri dalam masyarakat. maka tidak ada masalah bagi sang istri melakukannya apabila mampu dan tentunya tanpa dipaksa. Hal itu merupakan nilai tambahan sebagai wujud dari kecintaannya kepada sang suami yang kelelahan mencari nafkah di siang hari dan insyaa Allah pahala yang melimpah akan mengalir kepadanya jika keridhaan Allah ta’ala dan suami menjadi puncak niatnya.


Hak dan Kewajiban Bersama bagi Suami Istri

Telah dihalalkan pasangan suami istri untuk bergaul dan bersenang-senang di antara mereka. Kecuali saat istri sedang haid, nifas, ihram, dan dzihar. Seorang suami yang mendzihar istrinya (menyamakan punggung istrinya seperti punggung ibunya hingga tidak ada keinginan untuk menggaulinya) harus membayar kafarat (denda) dengan cara membebaskan 1 budak atau puasa selama 2 bulan berturut-turut, setelah itu baru ia dapat kembali pada istrinya.

Adapun hak bersama suami istri adalah : (1) hak untuk saling mendapatkan warisan, (2) hak untuk mendapatkan perwalian nasab anak. Sedangkan kewajiban yang harus dilakukan bersama-sama bagi suami istri dalam rumah tangga adalah memelihara dan mendidik anak keturunan yang lahir dari pernikahan mereka dan memelihara kehidupan pernikahan yang sakinah, mawaddah, warohmah.

10 KALIMAT YANG DIINGINKAN WANITA SAAT INI




 1. "How was your day?"
Ketika Anda mengajukan pertanyaan ini kepada pasangan, yang terlintas di benak pasangan adalah Anda ingin mengetahui kegiatan yang ia lakukan mulai dari pukul 9 pagi hingga pukul 5 sore. Jadi, jangan salahkan pasangan jika ia bercerita panjang lebar mengenai kegiatannya sepanjang hari. Tapi sisi baiknya adalah, pasangan menganggap Anda adalah kekasih yang perhatian dan siap menjadi teman terbaik untuk berbagi semua cerita.

2. "I can't believe how sexy you look!"
Jika Anda mengungkapkan hal ini, yang ada di benak pasangan adalah bahwa Anda memang menganggap dirinya menarik. Biasanya banyak wanita yang senang dipuji seperti ini dan sisi baiknya adalah pujian seperti ini dapat meningkatkan kepercayaan diri pasangan.

3. "How do you feel about [anything]?"
Pertanyaan ini menunjukkan bahwa Anda mempunyai kepedulian terhadaphttp://indowebmp3.com/news/wp-includes/js/tinymce/plugins/wordpress/img/trans.gif dirinya. Seperti yang kita ketahui, wanita senang diperhatikan oleh lawan jenis terutama pasangannya.

4. "You're prettier than your girlfriends"
Mungkin pujian ini adalah pujian yang paling ampuh untuk melambungkan ego pasangan Anda. Pujian ini juga menunjukkan bahwa Anda memberi penilaian yang tinggi untuk dirinya. Namun kami anjurkan agar Anda tidak terlalu sering mengungkapkan pujian ini agar si dia tidak menganggap Anda sedang membual.

5. "You're really smart"
Dengan memuji kepandaiannya, itu menunjukkan bahwa Anda mengenal kepribadiannya sama baiknya dengan Anda mengenal fisiknya. Ini membuat wanita merasa dihargai dan Anda tidak menjadikan dirinya semata-mata objek sex belaka yang berarti Anda juga respek terhadap dirinya sebagai wanita baik-baik. Wanita menyukai pria yang sopan dan bersikap jantan, dalam hal ini Anda berarti telah memenuhi kedua persyaratan tersebut.


6. "You're great in bed"
Percayalah bahwa pernyataan ini dalam membuatnya bak seorang Dewi Asmara. Biasanya wanita senang mendapat pujian seperti ini karena ini berarti ia tahu betul bagaimana memuaskan pasangannya di ranjang. Dengan memberikan pujian mengenai performanya di ranjang, mengindikasikan bahwa bagi Anda sex bukan terbatas pada orgasme saja, namun Anda menghargai setiap usaha dan manuver yang ia lakukan bagi Anda di atas ranjang.

7. "I want to spend my life with you"
Ini adalah suatu kalimat dengan makna yang dalam. Kalimat ini biasanya diungkapkan oleh pria yang siap memasuki tahap hubungan yang lebih serius. Sebaiknya siapkan diri Anda untuk menghadapi konsekuensi dari pernyataan yang Anda ucapkan. Jika Anda memang merasa si dia adalah soulmate Anda, silahkan ungkapkan isi hati Anda yang terdalam. Kalimat serupa lainnya yang dapat Anda ungkapkan adalah "Hanya kamu seorang yang dapat membahagiakan diriku" atau "Saya tidak ingin membagi hidup saya bersama yang lain."


8. "You're my best friend"
Seperti yang kita tahu, pria tidak dapat hidup tanpa teman-temannya. Umumnya kaum pria juga lebih senang berbagi cerita dan masalah dengan teman-temannya. Jadi jika pria mengatakan kepada pasangannya dengan kalimat seperti ini berarti pria telah menemukan tempat berbagi yang paling cocok untuk dirinya.

9. "You'll make a great mother"
Menikah dan mempunyai anak adalah impian setiap wanita namun banyak juga kaum wanita yang ragu apakah mereka mampu menjadi istri dan ibu yang baik bagi keluarganya kelak. Dengan mengungkapkan kalimat seperti ini, berarti Anda memberinya kepercayaan untuk membina dan membangun rumah tangga bersama dengan Anda. Ini juga dapat menenangkan sisi batiniah pasangan.


10. "You make my life complete"
Bagi wanita, kalimat ini mempunyai arti bahwa ia adalah satu-satunya wanita dalam hidup pasangan mereka. Setiap wanita selalu ingin mendengar kalimat seperti ini dari pasangan mereka. Bagi kaum pria sendiri, kalimat ini berarti mereka telah menerima sepenuhnya kehadiran pasangan mereka


Minggu, 15 Februari 2015

'Aisyah, engkaulah wanita idaman !

 
 'Aisyah ....
Maha besar Allah telah menciptakan engkau dengan penuh keindahan…
memberimu akal penuh dengan kemuliaan..
dan maha Tinggi Alloh dengan segala ke agungannya
yang telah memberikan wajah nan cantik kepadamu 'Aisyah..
dengan jilbab yang memanjang yang menutupi semua 'auratmu
Jilbab itu mengacaukan pikir ku ketika aku melihatmu 'Aisyah..
Sembari berdo’a.. semoga engkau belum ada yang memiliki..
ah indahnya dunia di penuhi dengan manusia-manusia tertutup..
muslimah yang baik dari luar dan Insyaallah dari dalam yang terkatup..
Semoga engkau lah yang akan menemani kehidupanku di masa yang akan datang 'Aisyah  .. semoga engkaulah wanita yang alloh rencanakan untuk berjodoh denganku .
Ya Allah..
Pandangan mata ini memang selalu tak Benar..
Pandangan akal ini selalu menuju kesalahan..
tak Memandang.. ah tak mungkin kulakukan..
namun, pandangan Hati adalah sebuah kebenaran..
Maka..
jagalah hatiku ini Tuhan penguasa alam..
jagalah pandangan ini, jauhkan dari zina mata yang tak tertahan..
Dan ampunilah semua dosa-dosa atas segala kesalahan..
Sesungguhnya.. hanya wanita yang solehah yang saya harapkan..
sosok seperti Aisyah yang sya impikan

Jumat, 13 Februari 2015

Hukum Merayakan Hari Valentine bagi Umat Islam | Semangat Valentine Adalah Semangat Berzina


Boleh jadi tanggal 14 Februari setiap tahunnya merupakan hari yang ditunggu-tunggu oleh banyak remaja, baik di negeri ini maupun di berbagai belahan bumi lainnya. Sebab hari itu banyak dipercaya orang sebagai hari untuk mengungkapkan rasa kasih sayang. Itulah hari Valentine, sebuah hari di mana orang-orang di barat sana menjadikannya sebagai fokus untuk mengungkapkan rasa ‘kasih sayang’, walau pun pada hakikatnya bukan kasih sayang melainkan hari ‘making love’.
Dan seiring dengan masuknya beragam gaya hidup barat ke dunia Islam, perayaan hari valentine pun ikut mendapatkan sambutan hangat, terutama dari kalangan remaja ABG. Bertukar bingkisan valentine, semarak warna pink, ucapan rasa kasih sayang, ungkapan cinta dengan berbagai ekspresinya, menyemarakkan suasana Valentine setiap tahunnya, bahkan di kalangan remaja muslim sekali pun.
Sejarah Valentine
Valentine’s Day menurut literatur ilmiyah dan kalau mau dirunut ke belakang, sejarahnya berasal dari upacara ritual agama Romawi kuno. Adalah Paus Gelasius I pada tahun 496 yang memasukkan upacara ritual Romawi kuno ke dalam agama Nasrani, sehingga sejak itu secara resmi agama Nasrani memiliki hari raya baru yang bernama Valentine’s Day.
The Encyclopedia Britania, vol. 12, sub judul: Chistianity, menuliskan penjelasan sebagai berikut: “Agar lebih mendekatkan lagi kepada ajaran Kristen, pada 496 M Paus Gelasius I menjadikan upacara Romawi Kuno ini menjadi hari perayaan gereja dengan nama Saint Valentine’s Day untuk menghormati St. Valentine yang kebetulan mati pada 14 Februari (The World Encylopedia 1998).
Keterangan seperti ini bukan keterangan yang mengada-ada, sebab rujukannya bersumber dari kalangan barat sendiri. Dan keterangan ini menjelaskan kepada kita, bahwa perayaan hari valentine itu berasal dari ritual agama Nasrani secara resmi. Dan sumber utamanya berasal dari ritual Romawi kuno.
Sementara di dalam tatanan aqidah Islam, seorang muslim diharamkan ikut merayakan hari besar pemeluk agama lain, baik agama Nasrani ataupun agama paganis (penyembah berhala) dari Romawi kuno.

Katakanlah, “Hai orang-orang kafir. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang Aku sembah. Dan Aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang Aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku.” (QS. Al-Kafirun: 1-6)

Kalau dibanding dengan perayaan natal, sebenarnya nyaris tidak ada bedanya. Natal dan Valentine sama-sama sebuah ritual agama milik umat Kristiani. Sehingga seharusnya pihak MUI pun mengharamkan perayaan Valentine ini sebagaimana haramnya pelaksanaan Natal bersama.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang haramnya umat Islam ikut menghadiri perayaan Natal masih jelas dan tetap berlaku hingga kini. Maka seharusnya juga ada fatwa yang mengharamkan perayaan valentine khusus buat umat Islam.
Mengingat bahwa masalah ini bukan semata-mata budaya, melainkan terkait dengan masalah aqidah, di mana umat Islam diharamkan merayakan ritual agama dan hari besar agama lain.
Valentine Berasal dari Budaya Syirik.
Ken Swiger dalam artikelnya “Should Biblical Christians Observe It?” mengatakan, “Kata “Valentine” berasal dari bahasa Latin yang berarti, “Yang Maha Perkasa, Yang Maha Kuat dan Maha Kuasa”. Kata ini ditunjukan kepada Nimroe dan Lupercus, tuhan orang Romawi”.
Disadari atau tidak ketika kita meminta orang menjadi “to be my Valentine”, berarti sama dengan kita meminta orang menjadi “Sang Maha Kuasa”. Jelas perbuatan ini merupakan kesyirikan yang besar, menyamakan makhluk dengan Sang Khalik, menghidupkan budaya pemujaan kepada berhala. Icon si “Cupid (bayi bersayap dengan panah)” itu adalah putra Nimrod “the hunter” dewa matahari.
Disebut tuhan cinta, karena ia rupawan sehingga diburu wanita bahkan ia pun berzina dengan ibunya sendiri. Islam mengharamkan segala hal yang berbau syirik, seperti kepercayaan adanya dewa dan dewi. Dewa cinta yang sering disebut-sebut sebagai dewa Amor, adalah cerminan aqidah syirik yang di dalam Islam harus ditinggalkan jauh-jauh. Padahal atribut dan aksesoris hari valentine sulit dilepaskan dari urusan dewa cinta ini.
Walhasil, semangat Valentine ini tidak lain adalah semangat yang bertabur dengan simbol-simbol syirik yang hanya akan membawa pelakunya masuk neraka, naudzu billahi min zalik.

Semangat valentine adalah Semangat Berzina 

Perayaan Valentine’s Day di masa sekarang ini mengalami pergeseran sikap dan semangat. Kalau di masa Romawi, sangat terkait erat dengan dunia para dewa dan mitologi sesat, kemudian di masa Kristen dijadikan bagian dari simbol perayaan hari agama, maka di masa sekarang ini identik dengan pergaulan bebas muda-mudi. Mulai dari yang paling sederhana seperti pesta, kencan, bertukar hadiah hingga penghalalan praktek zina secara legal. Semua dengan mengatasnamakan semangat cinta kasih.
Dalam semangat hari Valentine itu, ada semacam kepercayaan bahwa melakukan maksiat dan larangan-larangan agama seperti berpacaran, bergandeng tangan, berpelukan, berciuman, petting bahkan hubungan seksual di luar nikah di kalangan sesama remaja itu menjadi boleh. Alasannya, semua itu adalah ungkapan rasa kasih sayang, bukan nafsu libido biasa.
Bahkan tidak sedikit para orang tua yang merelakan dan memaklumi putera-puteri mereka saling melampiaskan nafsu biologis dengan teman lawan jenis mereka, hanya semata-mata karena beranggapan bahwa hari Valentine itu adalah hari khusus untuk mengungkapkan kasih sayang.
Padahal kasih sayang yang dimaksud adalah zina yang diharamkan. Orang barat memang tidak bisa membedakan antara cinta dan zina. Ungkapan make love yang artinya bercinta, seharusnya sedekar cinta yang terkait dengan perasan dan hati, tetapi setiap kita tahu bahwa makna make love atau bercinta adalah melakukan hubungan kelamin alias zina. Istilah dalam bahasa Indonesia pun mengalami distorsi parah.
Misalnya, istilah penjaja cinta. Bukankah penjaja cinta tidak lain adalah kata lain dari pelacur atau menjaja kenikmatan seks?
Di dalam syair lagu romantis barat yang juga melanda begitu banyak lagu pop di negeri ini, ungkapan make love ini bertaburan di sana sini. Buat orang barat, berzina memang salah satu bentuk pengungkapan rasa kasih sayang. Bahkan berzina di sana merupakan hak asasi yang dilindungi undang-undang.
Bahkan para orang tua pun tidak punya hak untuk menghalangi anak-anak mereka dari berzina dengan teman-temannya. Di barat, zina dilakukan oleh siapa saja, tidak selalu Allah sybhanahu wa ta’ala berfirman tentang zina, bahwa perbuatan itu bukan hanya dilarang, bahkan sekedar mendekatinya pun diharamkan.
Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk. (QS Al Isra’: 32)
Kasih Sayang Menurut Islam
Di dalam Islam tidak ada Valentine, sebab kata Valentine itu merupakan istilah impor dari agama di luar Islam. Bahkan latar belakang sejarah dan esensinya pun tidak sejalan dengan Islam.
Namun kalau yang anda inginkan adalah perwujudan rasa kasih sayang menurut syariah Islam, tentu saja Islam merupakan ‘gudang’ nya kasih sayang. Tidak sebatas pada orang-orang terkasih saja, bahkan kasih sayang kepada semua orang. Bahkan hewan pun termasuk yang mendapatkan kasih sayang.
Cinta kepada Kekasih
Kasih sayang kepada orang terkasih pun ada di dalam Islam, bahkan menyayangi pasangan kita dinilai sebagai ibadah. Ketika seorang wanita memberikan seluruh cintanya kepada laki-laki yang dicintainya, maka Allah pun mencurahkan kasih sayang-Nya kepada wanita itu. Hal yang sama berlaku sebaliknya.
Namun kasih sayang antara dua insan di dalam Islam hanya terjadi dan dibenarkan dalam ikatan yang kuat. Di mana laki-laki telah berjanji di depan 2 orang saksi. Janji itu bukan diucapkan kepada si wanita semata, melainkan juga kepada orang yang palingbertanggung-jawab atas diri wanita itu, yaitu sang ayah. Ikatan ini telah menjadikan pasangan laki dan wanita ini sebagai sebuah keluarga. Sebuah ikatan suami istri.
Adapun bila belum ada ikatan, maka akan sia-sia sajalah curahan rasa kasih sayang itu. Sebab salah satu pihak atau malah dua-duanya sangat punya kemungkinan besar untuk mengkhianati cinta mereka. Pasangan mesra di luar nikah tidak lain hanyalah cinta sesaat, bahkan bukan cinta melainkan birahi dan libido semata, namun berkedok kata cinta.
Dan Islam tidak kenal cinta di luar nikah, karena esensinya hanya cinta palsu, cinta yang tidak terkait dengan konsekuensi dan tanggung-jawab, cinta murahan dan -sejujurnya- tidak berhak menyandang kata cinta.
Cinta kepada Sesama
Di luar cinta kepada pasangan hidup, sesungguhnya masih banyak bentuk kasih sayang Islam kepada sesama manusia. Antara lain bahwa Islam melarang manusia saling berbunuhan, menyakiti orang lain, bergunjing, mengadu domba atau pun sekedar mengambil harta orang lain dengan cara yang batil.
Bandingkan dengan peradaban barat yang sampai hari duduk di kursi terdepat sebagai jagal yang telah membunuh berjuta nyawa manusia. Bukankah suku Indian di benua Amerika nyaris punah ditembaki hidup-hidup? Bukankah suku Aborigin di benua Australia pun sama nasibnya?
Membunuh satu nyawa di dalam Islam sama saja membunuh semua manusia. Bandingkan dengan jutaan nyawa melayang akibat perang dunia I dan II. Silahkan hitung sendiri berapa nyawa manusia melayang begitu saja akibat ledakan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki?
Silahkan buka lembaran sejarah, siapakah yang dengan bangga bercerita kepada anak cucunya bahwa nenek moyang mereka berhasil membanjiri masjid Al Aqsha dengan genangan darah muslimin, sehingga banjir darah di masjid itu sebatas lutut kuda?
Di awal tahun 90-an, kita masih ingat bagaimana Serbia telah menyembelih umat Islam di Bosnia, anak-anak mati ditembaki. Bahkan janin bayi di dalam perut ibunya dikeluarkan dengan paksa dan dijadikan bola tendang. Bayangkan, kebiadaban apa lagi yang bisa menandinginya?
Sesungguhnya peradaban barat itu bertqanggung jawab atas semua ini. Tangan mereka kotor dengan darah manusia, korban nafsu angkara murka.
Kasih sayang yang sesungguhnya hanya ada di dalam Islam. Sebuah agama yang terbukti secara pasti telah berhasil menjamin keamanan Palestina selama 14 abad lamanya. Di mana tiga agama besar dunia bisa hidup akur, rukun dan damai. Palestina baru kembali ke pergolakannya justru setelah kaum yahudi menjajahnya di tahun 1948.
Bahkan gereja Eropa di masa kegelapan (Dark Ages) pun tidak bisa melepaskan diri dari cipratan darah manusia, ketika mereka mengeksekusi para ilmuwan yang dianggap menentang doktrin gereja. Tanyakan kepadaGalileo Galilei, juga kepada Copernicus, apa yang dilakukan geraja kepada mereka? Apa yang menyebabkan kematian mereka? Atas dosa apa keduanya harus dieksekusi? Keduanya mati lantaran mengungkapkan kebenaran ilmu pengetahuan, sedangkan ilmu pengetahuandianggap tidak sesuai dengan kebohongan gereja.
Kalau kepada ilmuwan gereja merasa berhak untuk membunuhnya, apatah lagi dengan orang kebanyakan. Lihatlah bagaimana pemuda Eropa dikerahkan untuk sebuah perang sia-sia ke negeri Islam, perang salib. Lihatlah bagaimana nyawa para pemuda itu mati konyol, karena dibohongi untuk mendapatkan surat pengampunan dosa, bila mau merebut Al Aqsha.
Sejarah kedua agama itu, berikut sejarah Eropa di masa lalu kelam dan bau anyir darah. Sejarah hitam nan legam…
Bandingkan dengan sejarah Islam, di mana anak-anak bermain dengan bebas di taman-taman kota, meski orang tua mereka lain agama. Bandingkan dengan sejarah perluasan masjid di Mesir yang tidak berdaya lantaran tetangga masjid yang bukan muslim keberatan tanahnya digusur. Bandingkan dengan pengembalian uang jizyah kepada pemeluk agama Nasrani oleh panglima Abu Ubaidah Ibnul Jarah, lantaran merasa tidak sanggup menjamin keamanan negeri.
Siapakah yang menampung pengungsi Yahudi ketika diusir dari Spanyol oleh rejim Kristen? Tidak ada satu pun negara yang mau menampung pelarian Yahudi saat itu, kecuali khilafah Turki Utsmani. Sebab meski tidak seagama, Islam selalu memandang pemeluk agama lain sebagai manusia juga. Mereka harus dilindungi, diberi hak-haknya, diberi makan, pakaian dan tempat tinggal layak. Syaratnya hanya satu, jangan perangi umat Islam. Dan itu adalah syarat yang teramat mudah.

Maka kalau kita bicara cinta dan kasih sayang, Islam lah bukti nyatanya

Kamis, 12 Februari 2015

TAFSIR QS. AN-NISA’ [4]: 34-35


بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ









TAFSIR QS. AN-NISA’ [4]: 34-35

Terjemahan:
34.  Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan Karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu, maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri[289] ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah telah memelihara (mereka)[290]. Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya[291], maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya[292]. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.
35.  Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam[293] dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

[289]  Maksudnya: tidak berlaku curang serta memelihara rahasia dan harta suaminya.
[290]  Maksudnya: Allah telah mewajibkan kepada suami untuk mempergauli isterinya dengan baik.
[291] Nusyuz: yaitu meninggalkan kewajiban bersuami isteri. Nusyuz dari pihak isteri seperti meninggalkan rumah tanpa izin suaminya.
[292]  Maksudnya: untuk memberi peljaran kepada isteri yang dikhawatirkan pembangkangannya haruslah mula-mula diberi nasehat, bila nasehat tidak bermanfaat barulah dipisahkan dari tempat tidur mereka, bila tidak bermanfaat juga barulah dibolehkan memukul mereka dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas. bila cara pertama Telah ada manfaatnya janganlah dijalankan cara yang lain dan seterusnya.
[293]  hakam ialah juru pendamai.


Mufradat:
          Dalam al-Qur’an, kata atau istilah yang digunakan untuk menyebut laki-laki dan perempuan adalah rajul(un) dan dzakar(un) dan mar’ah, nisa>’ serta unsta>. Istilah tersebut memiliki pengertian yang berbeda-beda. Berikut adalah uraian mengenai beberapa istilah tersebut:
Ar-Rija>l: Kata ini merupakan bentuk plural (jama’) dari kata rajul (un). Secara etimologis, kata ini mengandung beberapa arti: mengikat, berjalan kaki, telapak kaki, tumbuh-tumbuhan dan laki-laki. Kata ini biasanya digunakan untuk menunjuk laki-laki yang sudah dewasa (sudah akil-baligh). Dalam penggunaannya, kata ini tidak hanya mengacu pada jenis kelamin biologis, tapi juga jenis laki-laki yang memenuhi kualifikasi budaya tertentu seperti kejantanan dan kemandirian. Hal ini tampaknya terkait dengan salah satu kata jadian darinya, seperti dalam uraian berikutnya. Oleh karena itu, perempuan yang memiliki sifat-sifat kejantanan disebut dengan rajlah. Kata ar-rajul tidak digunakan untuk spesies selain manusia.
Dalam al-Qur’an, kata ini disebut 55 kali dengan pengertian yang berbeda-beda. Yakni 1) gender laki-laki (QS. al-Baqarah [2]: 282). Termasuk dalam pengertian ini adalah QS. an-Nisa>’ [4]: 34 yang biasanya digunakan untuk menolak kepemimpinan perempuan di ruang publik. 2) orang, baik laki-laki maupun perempuan (QS. al-A’ra>f [7]: 46), 3) Nabi atau Rasul (QS. al-Anbiya>’ [21]: 7), 4) tokoh masyarakat (QS. Ya>si<n [36]: 20), 5) budak (QS. az-Zumar [39]: 29).
Menurut al-Ishfaha>ni<, kata ini digunakan secara khusus untuk manusia berjenis kelamin laki-laki. Salah satu kata jadian dari kata tersebut adalah rajlah yang berarti perempuan yang menyeruapi laki-laki dalam sebagian tingkah lakunya. Kata lain yang serupa tapi dengan pengertian berbeda adalah ar-rijl(u) yang berarti anggota badan yang khusus dimiliki oleh kebanyakan binatang mamalia. Dari kata tersebut muncul derivasinya; rajill (un) dan ra>jil (un) yang berarti kaki untuk berjalan (190).
Lawan kata dari ar-rajul adalah an-Nisa>’ yang berarti perempuan yang sudah matang atau dewasa. Oleh karena itu, kata ini biasanya diterjemahkan dengan istri atau perempuan yang sudah berkeluarga seperti perempuan yang sudah kawin (QS. an-Nisa’ [4]: 24), perempuan janda Nabi (QS. an-Nisa>’: 22), perempuan mantan istri ayah (QS. an-Nisa>’: 22), perempuan yang ditalak (QS. al-Baqarah: 231-2) dan istri yang di dzihar (QS. al-Muja>dilah [58]: 2+3). Dengan kata lain, sebagaimana imra’ah, kata an-Nisa>’ tidak pernah digunakan untuk perempuan di bawah umur. Bahkan  kedua kata ini lebih banyak digunakan dalam kaitan tugas reproduksi. Dalam al-Qur’an, kata ini disebut sebanyak 59 kali dalam pengertian sebagai berikut; 1) gender perempuan (QS. an-Nisa>’ [4]: 32) dan 2) istri (QS. al-Baqarah [2]: 222).
Nisa>’ adalah bentuk jama’ dari kata mar’ah yang berarti perempuan. Kata Nisa>’ pada dasarnya berasal dari kata kerja nasa-yansu yang berarti meninggalkan, yaitu meninggalkan masa kanak-kanak kemudian dewasa dan menjadi ibu. Di samping kata nisa>’, al-Qur’an juga menggunakan kata niswah yang juga berarti perempuan. Keduanya menunjukkan jama’.
Dalam al-Qur’an kata nisa>’ disebut sebanyak 57 kali, tersebar dalam beberapa ayat dan surat, sedangkan kata niswah disebut 2 kali, yaitu pada QS. Yu<suf [12]: 30 dan 50. Walaupun kedua kata nisa>’ dan niswah itu berasal dari akar kata yang sama, namun dalam pengertian dan penggunaannya dalam al-Qur’an terdapat perbedaan. Perbedaan itu adalah sebagai berikut: 1) dari segi pengertian, kata nisa>’ digunakan untuk menyatakan wanita di dalam jumlah yang lebih kecil, sedangkan kata niswah digunakan untuk menyatakan wanita di dalam jumlah yang lebih besar. Ath-Thabarsi, ketika menafsirkan kata niswah di dalam QS. Yu<suf [12]: 30, menerangkan bahwa niswah adalah jama>’ah min an-nisa>’ (sekelompok besar wanita), 2) kata nisa>’ digunakan di dalam konteks pembicaraan tentang perempuan secara umum sedangkan kata niswah digunakan al-Qur’an dalam konteks pembicaraan tentang perempuan-perempuan pada masa Nabi Yusuf as.
Dalam al-Qur’an, kata nisa>’ pada umumnya diungkap dalam konteks pembicaraan tentang perkawinan, hubungan suami-istri, perceraian/talak, pewarisan, dan soal aurat/kesopanan. Karena itu hanya perempuan dewasa yang sudah berkewajiban menutup aurta.
Ad-Dzakar. Kata ini berarti mengisi atau menuangkan, menyebutkan, mengingat, mempelajari, menyebutkan, laki-laki atau jantan. Kata ini lebih berkonotasi biologis (seks) yang bisa digunakan untuk selain manusia. Lawan katanya adalah al-untsa>. Dalam al-Qur’an, kata ini disebutkan sebanyak 18 kali yang kebanyakan menunjuk laki-laki dilihat dari faktor biologis. Hal ini seperti dalam QS. A<li ‘Imra>n [3]: 36. Memang ada ungkapan yang berhubungan dengan fungsi dan relasi gender yang tidak menggunakan rajul dan imra’ah, tapi ad-dzakar dan al-untsa> seperti ayat tentang waris (QS. an-Nisa>’ [4]: 11), namun ayat ini hendak menegaskan bahwa jenis kelamin apa pun, berhak mendapatkan berbagai hak asasinya, termasuk soal warisan dan hak-hak kebendaan lainnya. Apalagi, ayat ini turun sebagai koreksi atas tradisi jahiliyyah yang tidak mengenal warisan untuk perempuan. Sebenarnya, subtansi ayat tersebut terletak pada awal ayat: يوصيكم الله في أولادكم  , di mana kata aula>d mengandung pengertian laki-laki dan perempuan, baik sedikit atau banyak. Penyebutan ad-Dzakar dan al-untsa> hanya sebagai muqayyad. Untuk menguatkan argumen tersebut bisa dibandingkan dengan QS. an-Nisa>’: 176. Ini sebagai petunjuk bahwa perbedaan jenis kelamin tidak mesti melahirkan perbedaan gender. Kata untsa> berarti lembek (tidak keras), lemas dan halus. Makna ini terkait dengan fisik wanita yang belum dewasa, yakni belum kuat. Kata ini disebut sebanyak 30 kali dan semuanya menunjuk pada jenis kelamin perempuan.
Al-Mar’u. Kata ini berasal dari mara’a yang berarti baik atau bermanfaat. Dari kata ini lahir kata al-Mar’u yang berarti laki-laki dan al-Mar’ah yang berarti perempuan. Dalam al-Qur’an, kata al-mar’u terulang sebanyak 11 kali yang digunakan untuk pengertian manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana kata ar-rajul dan an-nisa>’, kata ini juga menunjuk pada pengertian manusia dewasa, sudah memiliki kecakapan bertindak atau yang sudah berumah tangga, seperti dalam QS. ‘Abasa [80]: 34-5 dan at-Thu<r [52]: 21.
Dari uraian di atas jelas bahwa kata ar-rajul tidak identik dengan ad-dzakar. Semua kategori ar-rajul, termasuk kategori ad-dzakar dan tidak sebaliknya. Demikian juga kata al-mar’u atau imra’ah dan an-nisa>’ tidak identik dengan al-untsa>. Seorang laki-laki  disebut ar-rajul atau perempuan disebut an-nisa>’, manakala memenuhi kriteria sosial dan budaya tertentu seperti berumur dewasa, telah berumah tangga atau telah mempunyai peran tertentu di dalam masyarakat.
Qawwa>mu<n. Kata ini merupakan bentuk jamak dari kata qawwa>m. Sedangkan kata qawwa>m adalah bentuk muba>laghah (superlatif) dari kata qa>’im. Secara bahasa, qawwa>m mengandung makna dasar antara lain: tegak, lurus, betul, dan adil. Makna itu kemudian berkembang menjadi memimpin seperti terdapat QS. an-Nisa>’: 34. Hal itu boleh jadi karena sikap benar, lurus, atau adil itu erat sekali kaitannya dengan tugas kepemimpinan dari seorang pemimpin, mulai dari kepemimpinan dalam rumah tangga sampai kepada kepemimpinan bangsa dan negara. Kemudian, sifat benar, lurus dan adil itu tidak hanya dimiliki di dalam diri seorang pemimpin, tetapi juga harus ditegakkannya sehingga keadilan dan supremasi hukum benar-benar terwujud di dalam masyarakat.
Menurut ar-Ra>zi, kata qawwa>m mengandung makna melaksanakan suatu pekerjaan dengan sungguh-sungguh. Sementara itu, menurut al-Qurthu<bi, qawwa>m adalah kesiapan melaksanakan sesuatu dengan penuh perhatian dan kesungguhan.
Dalam al-Qur’an, kata qawwa>mu<na hanya disebut satu kali, yaitu dalam QS. an-Nisa>’: 34. Menurut Rasyid Ridla, kata qawwa>mu<n tersebut mengandung makna, antara lain: al-h{ima>yah (penjagaan), ar-ri’a>yah (pengayoman), al-kifa>yah (pencukupan), dan al-wila>yah (kepemimpinan).
Selain kata qawwa>mu<n terdapat kata qawwa>mi<n yang disebut dua kali dalam al-Qur’an, yaitu pada QS. an-Nisa>’: 135 dan al-Ma’idah [6]: 8. Kedua ayat tersebut, menurut al-Qurthu>bi berkaitan dengan penegakan kesaksian dan bersikap adil di dalamnya, meskipun persaksian itu menyangkut diri-sendiri. Pendapat senada dikemukakan oleh at-Thabari< (Ensiklopedia al-Qur’an, 3: 770)
Faddlala: kata ini berasal dari kata fadl yang dalam berbagai bentuknya, disebut 104 kali dalam al-Qur’an. Makna asal kata tersebut adalah az-ziya>dah wal-khair (kelebihan dan kebaikan) yang kemudian berkembang menjadi 1) baqiya (sisa/akhir), 2) za>d/ziya>dah (lebih, lawan dari kurang), dan 3) ghalaba (menang/unggul/utama). Dalam bahasa Indonesia, kata ini sering diterjemahkan dengan karunia, kemurahan, kebaikan, keutamaan, kemuliaan, dan keunggulan.
Al-Ishfaha>ni< mengemukakan bahwa al-fadl berarti lebih atau kelebihan yang mencakup kebaikan dan keburukan. Adapun Thabathaba’i menyatakan bahwa yang dimaksud dengan fadl (makna konotatifnya) adalah suatu pemberian yang bersifat sukarela yang merupakan kelebihan dari kebutuhan. Menurutnya, kata tersebut digunakan untuk menyatakan kelebihan, keunggulan, kebaikan, kemurahan, dan keutamaan di dalam hal yang positif. Sedangkan untuk hal-hal yang negatif digunakan kata al-fudlu<l. Karena itu tidak ditemukan kata al-fadlu untuk makna negatif, demikian juga kata al-fudlu<l untuk kelebihan yang positif. Sementara itu Ibnu Mandzu<r menyebutkan al-Fadli<lah sebagai kedudukan yang tinggi di dalam hal-hal yang utama. Akan tetapi, kata yang terakhir ini tidak ditemukan dalam al-Qur’an.
Kata fadl yang digunakan untuk menyatakan kelebihan yang dimiliki oleh sesuatu atas sesuatu yang lain, termasuk dalam relasi laki-laki dan perempuan, umumnya menyangkut tiga segi. Pertama, dari segi jenis, seperti hewan memiliki kelebihan dibanding dengan tumbuh-tumbuhan. Kedua, dari segi nau’ (spesies), yaitu suatu pembagian di bawah level jenis (genus, jins) seperti manusia mempunyai kelebihan , di dalam hal-hal tertentu, dibanding dengan binatang, sekalipun keduanya sama-sama jenis hewan. Kata al-fadl yang mengandung arti semacam ini dapat dilihat dalam QS.al-Isra’ [17]: 70. Ketiga, dari segi dzat (esensi), seperti Ahmad memiliki kelebihan, di dalam satu segi, dibanding Mahmud. Pengertian ini seperti terdapat dalam QS. an-Nahl [16]: 71.
Kelebihan atau keunggulan yang termasuk kategori pertama dan kedua merupakan anugerah dari Allah, tanpa didahului usaha dari yang menyandang kelebihan atau keunggulan dimaksud. Sedangkan keunggulan yang ketiga kadang-kadang merupakan anugerah semata-mata dari Allah dan kadang-kadang juga merupakan hasil dari usaha yang bersangkutan.
Dalam rangkaian ayat al-Qur’an, penggunaan kata al-fadl muncul dalam dua bentuk. Pertama, dalam bentuk perbandingan di antara sesuatu dengan sesuatu yang lain, seperti dalam QS. an-Nisa’: 34. Kedua, tanpa perbandingan, seperti dalam QS. Ali Imran: 73. Dalam bentuk pertama, kata fadl dirangkaikan dengan kata depan ‘ala yang umumnya diterjemahkan dengan ‘atas’. Adapun dalam bentuk kedua, tanpa didahului kata depan ‘ala.
Pada umumnya, bentuk pertama di atas mengandung keterkaitan di antara Allah dengan makhluk atau di antara sesama makhluk itu sendiri sehingga kadang-kadang kata tersebut diterjemahkan dengan ‘karunia’ dan kadang-kadang juga diterjemahkan dengan ‘kelebihan’ atau ‘keunggulan’. Sedangkan dalam bentuk kedua, umumnya hanya diterjemahkan dengan ‘karunia’ dan ‘anugerah’.
Dalam al-Qur’an, kata fadl digunakan bukan saja untuk hal-hal yang bersifat ke-akhiratan, tapi juga keduniaan. Banyak ditemukan kata fadl yang dirangkaikan dengan kata Allah. Kata fadl yang dikaitkan dengan kata Allah lebih tepat diartikan dengan ‘pemberian sesuatu yang tidak dibutuhkan oleh si pemberi’. Jadi fadlullah berarti pemberian atau karunia Allah yang betul-betul tidak dibutuhkan oleh-Nya (Ensiklopedia al-Qur’an, 1: 200-202).

Munasabah Ayat:
Menurut Thabathaba’i, rangkaian ayat ini, yaitu mulai ayat 32-35 memiliki hubungan dengan beberapa ayat sebelumnya yang menjelaskan hukum waris. Hukum nikah merupakan sesuatu yang memperkuat hukum sebelumnya tersebut. Dari sana kemudian dapat diambil natijah mengenai sebagian hukum yang bersifat menyeluruh yang berkaitan dengan kemaslahatan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan (4: 343).  
          Sedangkan menurut Quraish Shihab, ayat sebelumnya (32) melarang berangan-anagn dan iri menyangkut keistimewaan masing-masing manusia, baik pribadi maupun kelompok atau jenis kelamin. Menurutnya, keistimewaan yang diberikan Allah itu antara ain karena masing-masing mempunyai fungsi yang harus diembannya dalam masyarakat, sesuai dengan potensi dan kecenderungannya. Karena itu pula ayat 32 mengingatkan bahwa Allah telah menetapkan bagian masing-masing menyangkut harta warisan, di mana terlihat adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Maka pada ayat ini (34) fungsi dan kewajiban masing-masing jenis kelamin itu serta latarbelakang perbedaan itu diuraikan (2: 402)

Kandungan Ayat:

A. Pandangan Mufassir Modern

Pandangan Muhammad Husein Thabathaba’i mengenai tafsir ayat dalam tafsirnya, al-Mi<za>n fi< Tafsi<r al-Qur’a>n:

          Thabathaba’i menafsirkan ayat tersebut dengan memulainya menjelaskan makna qawwamun. Menurutnya, kata tersebut berasal dari kata al-qayim yang berarti seseorang yang melakukan sesuatu bagi orang lain. Qawam dan qiyam yang membentuk kata qawwam, memiliki makna lebih dari sekedar makna tersebut. 
          Menurut Thabathaba’i, yang dimaksud dengan bima faddlaallah ba’dluhum ‘ala ba’dlin  adalah kelebihan dan tambahan yang dimiliki oleh laki-laki dari sisi alamiahnya dibanding perempuan, seperti kelebihan kekuatan akal dan kekuatan fisik untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan. Hal ini berbeda dengan perempuan. Menurutnya, kehidupan perempuan adalah kehidupan yang bersifat fisik yang lunak yang dibangun berdasarkan kelembutan dan kasih sayang. Sedangkan yang dimaksud dengan wabima anfaqu min amwalihim adalah nafkah yang diberikan laki-laki, berupa mahar (mas kawin dan beberapa nafkah lainnya).
          Jadi, menurut Thabathaba’i, kelebihan laki-laki atas wanita adalah karena laki-laki lebih kuat secara fisik dan telah memberi mahar kepada perempuan. Dua alasan inilah yang menurutnya menjadi dasar keunggulan laki-laki atas wanita. Lebih jauh Thabathaba’i menjelaskan bahwa laki-laki dalam ayat tersebut tidak terbatas pada kelebihan suami atas istrinya, tapi laki-laki secara umum di berbagai ruang dan wilayah, seperti pada wilayah pemerintahan, kehakiman, perang atau wilayah sosal lainnya. Beberapa wilayah tersebut, laki-laki lebih unggul dibanding wanita, menurutnya, karena pada wilayah tersebut dibutuhkan kekuatan akal.
          Meskipun demikian, menurut Thabathaba’i, bukan berarti keunggulan laki-laki atas perempuan tersebut dapat membatasi kemandirian atau kebebasan perempuan. Menurutnya, perempuan memiliki kebebasan individual dalam melakukan sesuatu yang dicintai dan dikehendakinya dan laki-laki tidak berhak menghalang-halangi keinginan dan kehendak tersebut, selagi hal-hal yang dicintai dan dilakukan itu bukan sesuatu yang munkar. Demikian juga dengan kepemimpinan suami atas istrinya. Suami tidak  dapat membatasi istrinya untuk melakukan sesuatu sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya. Istri juga tidak boleh dikekang kebebasannya dalam memenuhi dan menjaga hak-hak individual dan sosialnya. Ini berarti, menurut Thabathaba’i, suami boleh menuntut hak untuk ditaati oleh isrinya, baik ketika di rumah atau sedang berada di luar rumah, sepanjang ia memberi nafkah kepadanya (4: 352).

**********
          Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa ar-rijalu qawwamuna ‘alan nisa’ adalah bersifat umum. Namun ungkapan fasshalihatu qanitatu, menurut Thabathaba’i bersifat khusus, yaitu relasi antara suami dan istri. Dengan demikian, maksud potongan ayat tersebut adalah bahwa yang dimaksud dengan istri salihah adalah istri yang taat kepada Allah dan suaminya serta dapat menjaga diri, ketika suaminya tidak di rumah.
          Bandingan dari istri yang salihah adalah istri yang melakukan nusyuz, yaitu istri yang menentang dan membangkang terhadap suaminya, ketika kewajiban suami kepadanya (memberi nafkah) sudah ditunaikan. Untuk mengatasi problem tersebut al-Qur’an memberi tiga opsi jalan keluar, yaitu 1) fa’idzuhunna (memberi nasihat), 2) wahjuruhunna, seperti mengurangi bercengkrama, mendiamkan (tidak mengajak bicara) dan lain-lain dan 3) wadlribuhunna (memukul). Menurut Thabathaba’i tiga opsi tersebut bersifat berurutan tergantung pada situasi konflik antara keduanya.
          Kalau istri sudah taat kembali, maka suami dilarang mencari-cari kesalahan istri untuk menyakitinya. Sebab bila hal itu dilakukan, maka suami telah berbuat dzalim pada istrinya, apalagi kalau hal itu dilakukan karena ia merasa lebih tinggi dari istrinya atau karena sombong.
          Bila antara keduanya tidak mendapatkan titik temu untuk kembali hidup sebagai suami istri, maka keterlibatan pihak ketiga dari pihak suami dan istri sebagai suatu keniscayaan, dengan harapan keduanya dapat menjadi penengah, sehingga kalau bercerai, tidak ada permusuhan antara keduanya (4: 352-353).

**************
          Berdasarkan pengamatannya pada beberapa hadis yang diriwayatkan baik oleh Sunni maupun Syi’ah, Thabataba’i menyimpulkan bahwa:1) kehidupan perempuan yang baik menurut Islam adalah          mengurus persoalan rumah tangga dan mendidik anak-anaknya, 2) Islam melaranga perempuan melakukan hal-hal yang berbau jihad seperti dalam kehakiman dan kekuasaan pemerintahan, 3) meskipun perempuan dilarang berjihad, namun Islam memberi pekerjaan lain yang sebanding dengan jihad, seperti berbuat baik kepada suaminya (4: 359-360)

Pandangan Sayyid Qutub mengenai tafsir ayat dalam tafsirnya, Fi< Dzila>l al-Qur’a>n:

          Sebelum menjelaskan tafsir ayat tersebut, Qutub menjelaskan pandangan Islam mengenai organisasi keluarga, manhaj membangun dan memelihara keluarga dan tujuannya. Berdasarkan QS. adz-Dzariyat: 49, Allah menciptakan manusia dan di antara fitrahnya adalah berpasangan. Allah menjadikan pasangan pada manusia itu sebagai dua belahan bagi satu jiwa. Hal ini sebagaimana ditegaskan QS. an-Nisa’: 1. Allah hendak mempertemukan kedua belahan jiwa tersebut sesuai dengan apa yang dikehendaki-Nya, supaya pertemuan itu meneteramkan jiwa tersebut, meneteramkan saraf dan ruhnya serta melegakan jasadnya. Setelah itu kemudian menutupnya, melindungi dan menjaganya sebagai ladang untuk menyemaikan keturunan dan mengembangkan kehidupan, sebagaimana ditegaskan pada QS. ar-Rum: 21 dan al-Baqarah: 187, 223, at-Tahrim: 6 dan at-Tur: 21.
          Menurut Qutub, dengan menyamakan kedudukan kedua belahan jiwa itu di hadapan Allah, maka ini sebagai petunjuk adanya penghormatan kepada perempuan. Laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki hak untuk mendapatkan pahala di sisi Allah, hak untuk memiliki dan mewarisi, dan kebebasan pribadi untuk bersikap. Bagi Qutub, Islam  begitu sangat memuliakan perempuan, memberinya kebebasan pribadi dan menghormatinya, memberinya hak-hak padanya, bukan karena pilih kasih terhadap dirinya, melainkan untuk mewujudkan tujuan terbesar Islam yaitu menghormati manusia secara keseluruhan dan mengangkat kehidupan manusia.
Lebih lanjut Qutub mengemukakan  bahwa di antara tanggungjawab yang diemban organisasi keluarga adalah 1) untuk mendapatkan ketenangan dan perlindungan kedua belah pihak, 2) mengembangkan masyarakat manusia dengan unsur-unsur yang dapat mengembangkan dan meningkatkannya.
          Meskipun berpandangan seperti tersebut di atas, Sayyid Qutub mengemukakan kepemimpinan dalam organisasi keluarga berada di tangan laki-laki. Alasan kepemimpinan laki-laki dalam rumah tangga adalah karena Allah melebihkan laki-laki dengan tanggungjawab kepemimpinan beserta kekhususan-kekhususan dan ketrampilan yang dibutuhkannya serta menugasi laki-laki untuk memberi nafkah kepada seluruh anggota organisasi keluarga.
          Menurut Qutub, manhaj rabbani mengenai keluarga adalah bahwa suami dan istri diberi tugas secara seimbang sesuai dengan kodrat masing-masing dan sesuai dengan fitrahnya yang berbeda-beda. Salah satu tugas wanita ialah mengandung, melahirkan, menyusui dan mengasuh buah hubungannya dengan suami. Menurut Qutub, tugas merupakan tugas besar dan penting, tidak ringan dan tidak mudah, yang harus ditunaikan oleh perempuan dengan persiapan fisik, kejiwaan, dan pikiran yang mendalam. Oleh karena itu, lanjut Qutub, adil rasanya kalau suami dibebani tugas untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya dan memberikan perlindungan kepada istri supaya dapat mencurahkan tenaga dan perhatiannya kepada tugasnya yang penting itu. Karena itu, lanjut Qutub adil pula kalau suami diberi keistimewaan dalam bentuk dan susunan fisik, saraf, pikiran, dan jiwanya yang dapat membantunya menunaikan tugas-tugasnya. Wanita juga diberi bentuk dan susunan tubuh, saraf, pikiran, dan kejiwaan yang dapat membantunya menunaikan tugas-tugasnya.
          Karena tugas-tugasnya tersebut, menurut Qutub, perempuan dibekali kekhususan berupa kelembutan, kasih sayang, perasaan yang sensitif, dan tanggapan yang amat cepat terhadap tuntutan kebutuhan anak, tanpa berpikir dan mempertimbangkan terlebih dahulu. Laki-laki juga dibekali dengan kekhususan berupa kekuatan dan keperkasaan, perasaannya tidak terlalu sensitif dan reaktif, dan selalu menggunakan pertimbangan dan pikiran sebelum bertindak dan memberikan reaksi. Sifat-sifat khusus inilah, kata Qutub yang menjadikan laki-laki lebih dapat melaksanakan kepemimpinan dan lebih layak menggeluti pekerjaannya. Dengan demikian jelas bahwa kepemimpinan laki-laki atas wanita disebabkan oleh penciptaan dan kodratnya dan itulah yang adil.
          Diutamakannya laki-laki pada posisi tersebut, karena menurut Qutub, organisasi kelaurga tidak akan berjalan tanpa kepemimpinan laki-laki. Pada sisi lain, perempuan tidak disiapkan untuk tugas tersebut. Malahan, menurut Qutub, adalah zalim bila memikulkan tugas kepemimpinan kepada perempuan. Menurut Qutub, kalau perempuan diberi pelatihan untuk mengemban tugas kepemimpinan, maka pelatihan kepemimpinannya dibatasi hanya untuk tugas keibuan.
          Dalam pandangan Qutub, kepemimpinan laki-laki atas perempuan adalah harga mati. Karena itu, menurutnya, kehidupan manusia akan mengalami kejatuhan dan kerusakan, keruntuhan dan terancam kehancuran dan kebinasaan, apabila kaidah di atas dilanggar. Menurut pengamatan Qutub, keluarga yang dipimpin oleh ayah atau laki-laki, akan melahirkan anak-anak yang baik, tidak gampang menyeleweng baik dalam perilaki dan akhlaknya.
          Meskipun demikian, masih menurut Qutub, kepemimpinan laki-laki atas perempuan, tidak dengan sendirinya dapat menghilangkan hak-hak keperdataan perempuan tersebut dan hak-haknya untuk bertindak hukum, memilih teman hidupnya dan bertindak atas nama dirinya dan terhadap hartanya.

***********************
Ketika Terjadi Nusyuz, Bagaimana Pemecahannya?
          Setelah menjelaskan kewajiban, hak, tanggungjawab, dan tugas laki-laki, rangkaian ayat berikutnya menjelaskan tentang tabiat perempuan yang beriman, salehah, dan perilaku dan tindakan imaninya dalam samudra rumah tangga. Di antara tabiat wanita salehah adalah selalu menjaga kehormatan hubungannya yang suci antara dia dan suaminya ketika suami sedang tidak berada, lebih-lebih ketika suami ada di rumah. Maka, ia tidak memperkenankan dirinya untuk dipandang, yakni menghinakan harga diri dan kehormatan dirinya, yang memang tidak diperbolehkan, karena ia merupakan belahan dari sebuah jiwa. Aturan ini, bukanlah ketetapan istri atau suami, tetapi yang menetapkan adalah Allah.
          Lawan dari wanita salehah adalah wanita yang rela melakukan nusyuz. Menurut Qutub, nusyuz adalah orang yang menonjolkan dan meninggikan (menyombongkan diri dengan melakukan pelanggaran dan kedurhakaan. Menurut Qutub, al-Qur’an telah memberi pelajaran bahwa ketika nusyuz ini masih dalam tahap permulaan atau sebelum menjadi berat dan sulit, maka segera harus dipecahkan. Tindakan preventif ini diambil untuk memperbaiki kejiwaan dan tatanan kehidupan berumah tangga, bukan untuk menambah rusaknya hati dan mengisinya dengan kebencian dan dendam, atau mengisinya dengan penghinaan dan keretakan yang menyakitkan.
          Tindakan pertama yang dilakukan ketika terjadi nusyuz adalah memberi nasehat. Tindakan yang harus dilakukan pemimpin dan kepala rumah tangga pada tahap ini adalah melakukan tindakan pendidikan, mengobati faktor-faktor yang membuat nusyuz dan lainnya.
          Tindakan kedua dilakukan, apabila tindakan pertama tidak berhasil dan pada saat yang sama perempuan masih didominasi oleh hawa nafsunya, memperturutkan perasaan, merasa lebih tinggi atau menyombongkan kecantikannya, kekayaannya, status sosial keluarganya atau kelebihan lainnya. Tindakan kedua berupa membiarkan diri ia tidur sendiri. Menurut Qutub, tempat tidur atau ranjang merupakan tempat untuk melepaskan rangsangan dan daya tarik, yang di sini, istri yang melakukan nusyuz dan menyombongkan diri merasa berada di puncak kekuasaannya. Apabila suami dapat menahan keinginannya terhadap rangsangan ini, maka gugurlah senjata utama perempuan yang nusyuz yang dibangga-banggakannya itu. Dengan pemisahan tempat tidur, diharapkan istri surut dan melunak di depan suami yang tegar.
          Berpisah tempat tidur atau tidur sendiri-sendiri, tidak dilakukan secara terang-terangan di luar tempat yang biasa suami-istri berduaan dan tidak di depan anak-anak, karena akan berdampak negatif kepada keluarga besar. Pemisahan juga tidak dengan pindah ke orang lain, dengan menghinakan istri atau menjelek-jelekkan kehormatan dan harga dirinya, karena hal itu akan menambah pertentangan. Dengan demikian, menurut Qutub, pemisahan ini bertujuan untuk mengobati nusyuz, bukan untuk merendahkan istri dan merusak anak-anak.
          Akan tetapi kalau langkah kedua tidak membuahkan hasil, agar keluarga tidak hancur berantakan, maka masih ada tindakan yang harus dilakukan untuk memecahkannya, walaupun lebih keras, tetapi lebih ringan dan lebih kecil dampaknya dibandingkan dengan kehancuran keluarga. Langkah ketiga adalah memukul. Pemukulan yang dilakukan, menurut Qutub, bukan untuk menyakiti, menyiksa dan memuaskan diri. Tidak juga untuk menghinakan atau merendahkan. Pemukulan tidak boleh dilakukan dengan keras dan kasar. Qutub mengutip hadis, janganlah seseorang di antara kamu memukul istrinya bagaikan unta, yaitu dia memukulnya pada pagi hari, tetapi kemudian pada malam harinya mencampurinya.
Semua tindakan tersebut tidak boleh dilakukan kalau kedua belah pihak berada dalam kondisi harmonis. Tindakan itu boleh dilakukan untuk menghadapi ancaman kerusakan dan keretakan. Sebab Nabi bersabda, sebaik-baik kamu adalah orang yang paling baik terhadap istrinya (keluarganya) dan aku adalah orang yang paling baik terhadap keluargaku di antara kalian.
Mendatangkan Juru Damai
          Pemecahan dengan tindakan tersebut  dilakukan apabila nusyuz belum gawat atau masih dapat ditanggulangi. Apabila sudah gawat maka manhaj Islam yang bijaksana mengisyaratkan tindakan terakhir untuk menyelamatkan organisasi besar dari kehancuran, yaitu mendatangkan juru damai.
          Menurut Qutub, manhaj Islam tidak menyerah begitu saja ketika terjadi nusyuz dan ketidaksukaan salah satu pihak. Tidak juga segera memutuskan tali pernikahan dan tidak merobohkan organisasi rumah tangga dengan melemparkan puing-puing ke kepala para anggotanya, baik yang besar maupun yang kecil, yang tidak berdosa dan tidak bersalah, yang tidak memiliki kekuatan dan daya upaya.
          Cara terakhir ini harus segera dilakukan apabila ada kekhawatiran akan terjadinya persengketaan. Juru damai ini mencoba melakukan islah. Maksudnya, bila cerai yang diambil, maka keduanya tidak ada luka lagi (4: 233-248).

Pandangan M. Quraish Shihab mengenai tafsir ayat dalam tafsirnya, Al-Mishba>h{ Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an:

          Quraish menjelaskan bahwa yang dimaksud rijal dalam ayat tersebut adalah laki-laki secara umum, bukan suami. Sebab, kata Thahir ibn ‘Asyur, kata rijal tidak digunakan oleh bahasa Arab, bahkan bahasa al-Qur’an, dalam artyi suami. Berbeda dengan kata an-Nisa’ atau imra’ah yang digunakan untuk makna istri. Karena itu, menurutnya, penggalan ayat di atas berbicara secara umum tentang pria dan wanita dan berfungsi sebagai pendahuluan bagi penggalan kedua ayat, yaitu tentang sikap dan sifat isteri yang salehah.
          Kata Qawwamun merupakan bentuk jamak dari kata qawwam yang terambil dari kata qama. Perintah shalat, misalnya menggunakan kata tersebut. Perintah tersebut bukan berarti perintah mendirikan shalat, tetapi melaksanakannya dengan sempurna, memenuhi segala syarat, rukun dan sunnah-sunnahnya. Seseorang yang melaksanakan tugas dan atau apa yang diharapkan darinya dinamai qa’im. Kalau ia melaksanakan tugas itu sesempurna mungkin, berkesinambungan dan berulang-ulang, maka ia dinamai qawwam. Seringkali, kata Quraish, kata tersebut diterjemahkan dengan pemimpin, tetapi, katanya, seperti terbaca dari maknanya, terjemahan itu belum menggambarkan seluruh makna yang dikehendaki, walau harus diakui bahwa kepemimpinan merupakan satu aspek yang dikandungnya. Dengan kata lain dalam pengertian kepemimpinan tercakup pemenuhan kebutuhan, perhatian, pemeliharaan, pembelaan, dan pembinaan.
          Menurut Quraish, kepemimpinan untuk setiap unit merupakan sesuatu yang mutlak, termasuk dalam setiap keluarga. Hal ini karena perselisihan dan persesuaian dapat muncul seketika, namun juga dapat segera hilang. Persoalannya siapakah yang harus memimpin? Allah menetapkan laki-laki sebagai pemimpin dengan dua pertimbangan pokok, yaitu:
          Pertama, karena Allah melebihkan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain, yakni masing-masing memiliki keistimewaan. Tetapi, kata Quraish, keistimewaan yang dimiliki laki-laki lebih menunjang tugas kepemimpinan daripada keistimewaan yang dimiliki perempuan. Di sisi lain, menurut Quraish, keistimewaan yang dimiliki perempuan lebih menunjang tugasnya sebagai pemberi rasa damai dan tenang kepada lelaki serta lebih mendukung fungsinya dalam mendidik dan membesarkan anak.
          Untuk mendukung pandangannya tersebut Quraish beragumen dengan sebuah analog bahwa mengapa pisau diciptakan lancip atau tajam? Mengapa bibir gelar tebal dan halus? Mengapa tidak sebaliknya? Jawabnya adalah karena ‘bentuk disesuaikan dengan fungsi’ dan bukan sebaliknya ‘ fungsi menciptakan bentuk’. Kalau pisau diciptakan lancip karena ia berfungsi untuk memotong, sedang gelas untuk di minum. Kalau bentuk gelas sama dengan pisau, maka ia akan berbahaya dan gagal dalam fungsinya. Sebaliknya kalau pisau dibentuk seperti gelas, maka sia-sialah kehadirannya dan gagal pula dalam fungsinya.
          Di samping dengan argumen di atas, Quraish juga mengemukakan beberapa argumen yang mendukung pandangannya dengan mengutip beberapa pendapat ahli, seperti Murtadha Muthahhari yang menyatakan bahwa:
         “Lelaki secara umum lebih besar dan tinggi dari perempuan, suara lelaki dan telapak tangannya besar, berbeda dengan telapak dan suara perempuan, pertumbuhan perempuan lebih cepat dari laki-laki, namun perempuan lebih mampu membentengi diri dari penyakit dibanding lelaki…Rata-rata bentuk kepala laki-laki lebih besar dari perempuan…”
          Perbedaan lain secara psikis antara laki-laki dan perempuan menurutnya antara lain, lelaki lebih cenderung pada olahraga, berburu dan pekerjaan yang melibatkan gerakan dibanding wanita. Lelaki cenderung kepada tantangan dan perkelahian sedangkan perempuan cenderung kepada kedamaian dan keramahan. Lelaki lebih agresif dan suka ribut, sementara wanita lebih tenang dan tenteram. Perempuan menghindari kekerasan terhadap dirinya atau orang lain, karena itu, jumlah perempuan yang bunuh diri lebih sedikit dari jumlah pria. Caranya pun berbeda, biasanya lelaki menggunakan cara yang lebih keras, seperti pistol, tali gantungan atau meloncat dari ketinggian, sementara perempuan menggunakan obat tidur, racun dan semacamnya. Perasaan wanita lebih cepat bangkit dari lelaki, sehingga sentimen dan rasa takutnya segera muncul, berbeda dengan lelaki yang biasanya lebih berkepala dingin dan perbedaan-perbedaan lainnya.
          Meskipun secara panjang lebar menguraikan perbedaan tersebut dan perbedaan di atas, menurut Quraish, sejalan dengan petunjuk ayat, namun katanya, sudah sewajarnya untuk tidak menilai perasaan
          Kedua, disebabkan karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka. Menurut Quraish, bentuk kata lampau yang digunakan ayat, menunjukkan bahwa memberi nafkah kepada wanita telah menjadi kelaziman bagi lelaki serta kenyataan umum dalam masyarakat umat manusia sejak dahulu hingga kini. Penyebutan konsideran itu oleh ayat menunjukkan bahwa kebiasaan lama itu masih berlaku hingga kini. Wanita, menurut Quraih, secara psikologis enggan diketahui membelanjai suami bahkan kekasihnya. Di sisi lain, pria malu jika ada yang mengetahui bahwa kebutuhan hidupnya ditanggung oleh isterinya. Karena itu, menurutnya, agama Islam yang tuntunannya sesuai dengan fitrah manusia mewajibkan suami untuk menanggung biaya hidup isteri dan anak-anaknya. Kewajiban itu diterima dan menjadi kebanggaan suami, sekaligus menjadi kebanggan isteri yang dipenuhi kebutuhan dan permintaannya oleh suami sebagai tanda cinta kepadanya.
          Masih menurut Quraish, dalam konteks kepemimpina keluarga, alasan kedua cukup logis. Bukankah, katanya, di balik setiap kewajiban ada hak? Bukankah yang membayar memperoleh fasilitas? Tetapi hakikatnya, ketetapan ini bukan hanya atas pertimbangan materi saja.
          Dari kedua faktor di atas, keistimewaan fisik dan psikis, serta kewajiban memenuhi kebutuhan isteri dan anak-anaknya, lahir hak-hak suami yang harus pula dipenuhi oleh isteri. Suami wajib ditaati oleh isterinya dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan ajaran agama serta tidak bertentangan dengan hak pribadi sang isteri.
          Meskipun lelaki pemimpin, namun perlu digarisbawahi, kata Quraish bahwa kepemimpinan tersebut tidak boleh mengantarnya kepada kesewenang-wenangan. Bukankah musyawarah merupakan anjuran al-Qur’an dalam menyelesaikan setiap persoalan, termasuk persoalan yang dihadapi keluarga? (2: 402-408).

B. Pandangan Mufassir Klasik

Pandangan Jalaluddin as-Sayuthi dan Jalaluddin al-Mahally mengenai tafsir ayat dalam tafsirnya, al-Jala>lin:
         
          Ar-Rija>lu qawwa>mu<na, yaitu laki-laki menguasai (musalithu<n) perempuan dengan mendidik dan membuat perempuan berada di bawah kekuasaannya. Hal ini karena laki-laki memiliki kelebihan dibanding perempuan berupa kelebihan ilmu, akal, walayah (kekuasaan), dan lain-lain dan karena laki-laki, dengan hartanya, memberi nafkah kepada perempuan. Di antara perempuan yang salihah, adalah mereka yang taat kepada suaminya dan dapat menjaga kemaluan dan lainnya, ketika suaminya tidak di rumah.
          Seandainya istri melakukan pelanggaran yang jelas, maka suami diperintahkan untuk menasehatinya agar takut kepada Allah, berpisah tempat tidur, seandainya lebih jelas lagi nusyuznya dan memukulnya dengan pukulan yang tidak melukai (ghaira mubarrih{in). Apabila istri sudah taat kepada suaminya dengan menjalankan apa yang dituntut oleh suaminya, maka suami di larang mencari-cari alasan untuk memukul istrinya.
          Bila keluarga kedua belah pihak mengetahui konflik antara suami-istri, maka keluarga, atas kerelaan keduanya mengutus laki-laki yang adil dari kerabat suami dan laki-laki yang adil dari pihak istri, masing-masing sebagai wakil para pihak untuk mendamaikan keduanya atau bercerai (2: 40-43).

Pandangan Syaikh Ahmad as-Sha>wi< al-Ma>liky< mengenai tafsir ayat dalam tafsirnya, Ha>syiyah as-Sha>wi< ‘ala> Tafsi<r al-Jala>lain:

          Ar-Rija>lu qawwa>mu<na. Latarbelakang turunnya ayat ini adalah bahwa istri Sa’d ibn Rabi’, salah satu tokoh kaum anshar yang bernama Habibah binti Zaid telah nusyuz, kemudian menamparnya. Atas peristiwa tersebut, ayah dari Habibah mengadu kepada Nabi dan menjelaskan kepadanya bahwa suami Habibah telah menampar Habibah. Nabi kemudian menegaskan, agar suami Habibah di qishas. Setelah mendapat jawaban tersebut keduanya pergi meninggalkan Nabi, sambil Nabi berpesan agar segera pulang, karena Jibril datang kepadanya dan membaca ayat tersbut. Nabi kemudian bersabda: Kami menghendaki sesuatu, tapi Allah juga menghendaki sesuatu yang lain dan tidak ada yang dikehendaki Allah kecuali baik. Latarbelakang ini, menurut as-Shawi sebagai sisipan yang bertujuan untuk menjelaskan keunggulan laki-laki atas perempuan.
          Menurut as-Shawi, keunggulan itu karena dua hal, anugerah dan usaha. Perlu diketahui, kata as-Shawi bahwa sebagian laki-laki lebih utama daripada perempuan. Hal ini tidak menafikan bahwa ada juga sebagian individu-individu perempuan yang lebih utama dari individu-individu laki-laki seperti Maryam binti ‘Imran, Fatimah az-Zahra’, Khadijah dan ‘Aisyah.
          Menurut as-Shawi ada beberapa keunggulan laki-laki dibanding wanita, di antaranya tambah akal dan agamanya, kekuasaan dan persaksian, jihad, Jum’at, jama’ah, para nabi semuanya laki-laki, laki-laki dapat poligami sampai empat ketika di dunia dan dapat memperistri perempuan lebih banyak ketika di surga, dan talak serta talak raj’i ada pada laki-laki.
          Menurut as-Shawi, kalau istri membangkang perintah suaminya, yaitu perintah yang bukan ma’siat kepada Allah, maka suami wajib memberi ma’idzah kepada istrinya, kemudian bila tetap membangkang, langkah keduanya adalah berpisah ranjang, sampai langkah ketiga yaitu memukul yang tidak melukai yaitu sampai pecah tulangnya atau membuat tidak berfungsi anggota badannya. Dua langkah yang terakhir, menurut Shawi, baru dilakukan ketika istri nyata-nyata melakukan nusyuz (2: 40-43).

Pandangan Sulaiman ibn Umar al-Ujaily as-Sya>fi’i yang dikenal dengan nama Jamal< mengenai tafsir ayat dalam tafsirnya, al-Futu<h{a>tul Ila>hiyyah bi Taudli<h{i Tafsi<r al-Jala>lain lid Daqa>’iqil khafiyyah:

          Ar-Rijalu qawwamuna merupakan sisipan yang menjelaskan sebab lebih berhaknya laki-laki untuk mendapat bagian lebih dari perempuan dalam warisan dan hak-hak lainnya yang umum. Kelebihan bagian itu disebabkan dua hal, satu bersifat anugerah dan dua bersifat kasby atau diusahakan. Setelah penjelasan tersebut Jamal menjelaskan latarbelakang turunnya ayat tersebut. Latarbelakang yang disebutkan sama seperti yang dijelaskan oleh as-Shawi.
Kata qawwamuna, menurut Jamal merupakan bentuk jamak dari kata qawwam, yang berarti yang menegakkan kemaslahatan dan pengasuhan, dan pendidikan. Laki-laki membeckup perempuan dan sungguh-sungguh dalam menjaganya.
Bima> faddlalalla>h berhubungan dengan qawwamuna. Ba’-nya adalah ba’ sababiyah dan mim-nya adalah mim mashdariyah. Maksud dari ungkapan tersebut adalah bahwa Allah telah melebihkan laki-laki atas wanita dalam beberapa hal, di antaranya tambah akal-nya, agama, perwalian, jihad, Jum’at, jama’ah, dan imamah. Nabi-nabi, khalifah dan para imam, semuanya laki-laki. Laki-laki boleh menikahi empat perempuan sementara perempuan hanya boleh dengan satu laki-laki. Laki-laki mendapat bagian lebih dalam warisan dan dalam genggamannya kekuasaan untuk talak, nikah dan raj’i. Kepada lak-laki juga, nasab anak manusia dinisbahkan. Semua itu, menurit Jamal, sebagai petunjuk bahwa laki-laki lebih unggul daripada perempuan.
Wabima anfaqu, sebagaimana bima faddlalallah, berhubungan dengan qawwamuna yang berarti dikarenakan laki-laki memberi nafkah maka ia harus ditaati. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi dari Abu Hurairah: seandainya diperintahkan seseorang boleh sujud kepada yang lainnya, maka saya perintahkan istri untuk sujud kepada suaminya. Menurut Jamal, suami diperintah untuk mendidik istrinya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi dari Abu Hurairah (juga): berwasiatlah yang baik kepada perempuan, karena perempuan itu tercipta dari tulang rusuk. Apabila tulang rusuk itu bengkok, maka luruskanlah, sebab apabila tidak, maka ia akan mematahkan laki-laki. Tetapi kalau dibiarkan, maka  bengkok. Maka berwasiatlah yang baik kepada perempuan.
Nusyuz, menurut Jamal adalah cenderung pada kejahatan. Nusyuznya istri adalah ketika ia benci kepada suaminya dan sombong kepadanya. Bila jelas-jelas terjadi nusyuz, maka seorang suami menasehati istrinya, kemudian pisah ranjang dan terakhir memukulnya, bila tindakan ini dianggap berfaidah. Tindakan pemukulan yang dilakukan suami tidak boleh sampai melukai, seperti sampai tulangnya patah atau membuat disfungsinya anggota tubuh. Tiga tindakan itu dilakukan suami bila sudah sangat jelas, tidak berdasarkan prasangka. Tiga tindakan tersebut dilakukan dengan berurutan (1: 378-379).

Wallahua’lam bissowab.